12.07.2015 Views

PNACU645

PNACU645

PNACU645

SHOW MORE
SHOW LESS

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

118 Perdagangan Perempuan dan Anak di IndonesiaD. PERBUDAKAN BERKEDOK PERNIKAHAN DAN PENGANTINPESANANOleh Neha Misra dan Ruth RosenbergPerempuan dan gadis muda yang mengalami perbudakan berkedok pernikahan (servilemarriage) atau pernikahan paksa mungkin akan rentan terhadap atau pada akhirnya menjadikorban perdagangan. Banyak negara mempunyai tradisi budaya yang mengakibatkanperbudakan berkedok pernikahan menimpa banyak perempuan. Berbagai faktor dapat turutberperan dalam esensi tersendiri dari perbudakan berkedok pernikahan. Dalam sebuah studimengenai perbudakan berkedok pernikahan, Taylor menemukan ada beberapa faktor yangterlibat dalam perbudakan berkedok pernikahan, antara lain:1) pernikahan tersebut melibatkan perpindahtanganan nilai ekonomi yang signifikandi luar kendali pengantin;2) pengantin tidak memiliki suara dalam pemilihan suami dan tidak mempunyai hakuntuk menolak;3) sang istri masih di bawah umur, sang suami berumur jauh lebih tua, dan / atau sangpengantin tinggal dengan saudara-saudara suaminya;4) sang istri tidak memiliki kendali atas fertilitasnya sendiri;5) sang istri tidak memiliki hak yang sama sebagai orang tua;6) sang istri memiliki kendali atau akses yang lebih kecil ke harta warisan ataupenghasilan;7) sang istri mengalami penganiayaan dan kekerasan fisik tanpa mempunyai bantuanhukum atau sosial;8) Sang istri mungkin akan dipermalukan atau menderita kekerasan yang dilakukanoleh suaminya, yang dibiarkan oleh masyarakat karena posisi sang istri yang lemah.;9) sang istri dikucilkan dan gerak-geriknya dibatasi;10) sang istri diancam dengan kekerasan, perceraian atau penahanan kebutuhan pokokagar ia bekerja lebih banyak lagi;11) sang istri tidak diizinkan untuk meninggalkan pernikahannya, baik dengan ancamankekerasan maupun karena mendapat tentangan dari masyarakat (seperti yang dikutipdalam Wijers dan Lap-Chew, 1999: 73-74)Sebelum tahun 1974, pernikahan di Indonesia dilakukan dalam dua cara: menurut hukumIslam untuk kaum Muslim, dan menurut budaya atau adat setempat, untuk penduduk lainnya.Masing-masing adat mempunyai perlakuan yang berbeda terhadap perempuan dalampernikahan, dengan sebagian hukum adat menunjukkan tingkat kesetaraan yang tinggi bagiperempuan dan yang lainnya tidak. Pada masa ini, perjodohan dan pernikahan dini lazimdialami perempuan (Berninghausen & Kerstan, 1991). Undang-undang (UU) PerkawinanNo. 1/1974 menyatukan seluruh peraturan yang mengatur pernikahan dan perceraian. DalamUU ini lelaki didefinisikan sebagai kepala rumah tangga dan pemberi nafkah bagi keluarga;peran seorang perempuan adalah sebagai istri dan ibu. Kendati demikian UU 1974 tersebutmemberikan perempuan hak yang sama dalam pengambilan keputusan menyangkut hak

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!