12.07.2015 Views

PNACU645

PNACU645

PNACU645

SHOW MORE
SHOW LESS

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

Bentuk-bentuk Perdagangan di Indonesia129bagi anak dan, karena itu, berdasarkan UU telah dilarang. Perburuhan anak di jermal jugasalah satu bentuk perdagangan karena anak diambil dari keluarganya untuk bekerja dalamkondisi yang eksploitatif dan terisolasi – walaupun istilah ini jarang, bila bukan tidak pernahdigunakan untuk mendeskripsikan perburuhan anak di jermal. Sejumlah tindakan yang telahdilakukan oleh penegak hukum dan LSM di Indonesia selama dua tahun terakhir berhasilmengeluarkan sebagian anak dari jermal. Namun perdagangan masih berlanjut (ILO-IPEC,2001a) karena para calo dan pemilik jermal tidak pernah dihukum atau diberi penalti, danselalu ada anak-anak laki-laki miskin yang akan mempercayai janji-janji palsu tersebut danmenerima pekerjaan berbahaya ini (Wawancara, 2000).Anak JalananPerkiraan jumlah anak jalanan di Indonesia amat bervariasi. Proses estimasi HIV nasionalyang dilakukan oleh Departemen Kesehatan pada tahun 2002 memperkirakan bahwa jumlahanak jalanan di seluruh Indonesia adalah 70.900 jiwa (Republik Indonesia, 2003). KomisiNasional Perlindungan Anak (KOMNAS PA) pada tahun 2000 mengajukan perkiraan yangjauh lebih besar, yaitu 1,7 juta anak jalanan di seluruh Indonesia, dengan 40.000 di Jakartasaja (Dursin, 2000). Ada sejumlah indikasi bahwa jumlah anak jalanan melonjak tajam akibatsemakin parahnya krisis ekonomi yang sudah berlangsung sejak tahun 1997. Contohnya,KOMNAS PA percaya bahwa Jakarta hanya memiliki 15.000 anak jalanan sebelum tahun1997 (Dursin, 2000). Suatu survei mengenai anak jalanan oleh Universitas Atma Jaya padatahun 2000 yang berjudul “Situasi Anak Jalanan di Indonesia: Hasil Pemetaan dan SurveiSosial di 12 kota” menemukan bahwa hampir setengah dari anak-anak yang disurvei baruterjun ke jalanan pada awal krisis moneter (Dursin, 2000).Teman-teman biasa memanggil saya Gde. Saya lahir di Buntut, Trunyan-Bangli, Bali. Tahun lalu, ketika sayamasih berumur 13 tahun, seorang pria tua datang dan menawarkan pekerjaan di Denpasar. Sebelumnya sayatidak pernah berjumpa dengannya. Ia berjanji akan membiayai pendidikan saya di SLTP sore di Denpasar.Meski saya meragukan tawarannya yang menggoda ini, saya tetap menerimanya. Saya dan juga orang tuamerasa amat gembira. Lelaki itu pun kemudian membawa saya ke Denpasar. Kami tidur di dalam saturuangan bersama dengan sejumlah anak dari Desa Madya dan Karangasem. Anak-anak itu memberitahusaya bahwa orang itu bernama Pak De. Esok harinya ia memerintahkan kami untuk mengemis. Sikapnyaamat galak dan mengancam terhadap kami, sehingga saya tak mempunyai pilihan lain selain mengikutiperintahnya.Setiap pagi kami dibawa ke sebuah daerah dengan mobil. Di sana, kami akan menghabiskan sepanjang haridengan mengemis dari rumah ke rumah. Sorenya, ia akan menjemput kami kembali di suatu tempat yangsudah ditentukan. Kami melakukan pekerjaan seperti ini setiap hari untuk Pak De dan kami harusmenyerahkan seluruh uang yang terkumpul kepadanya. Ia hanya memberi kami sebagian kecil dari uangtersebut. Setiap hari saya ngangendong (mengemis untuk memperoleh barang, bukan uang) dan sayaberhasil mendapat 5-10 kilo beras per hari. Pak De pasti mendapat banyak uang jika ia menjual beras itu.Sumber: Irwanto et al., 2001

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!