12.07.2015 Views

PNACU645

PNACU645

PNACU645

SHOW MORE
SHOW LESS

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

Bentuk-bentuk Perdagangan di Indonesia85• Pecun dan Perek: Di Indonesia dikenal pecun (perempuan cuma-cuma) atau perek(perempuan eksperimen), sebuah kategori terpisah dari para perempuan yang melakukanaktivitas seksual untuk memperoleh imbalan. Mereka ini adalah gadis muda di daerahperkotaan, sering kali remaja (yang dijuluki ABG, anak baru gede), yang melakukankerja seks terselubung, berhubungan seks dengan lelaki demi uang, atau sering,hadiah. Para gadis dan perempuan ini biasanya mempunyai tingkat pendidikan lebihtinggi, SLTP atau SMU; pecun biasanya memang masih duduk di bangku sekolah.Mereka dapat dijumpai menjajakan diri dan nongkrong di terminal bus, pusatperbelanjaan, arena biliar, warung dan tempat-tempat lainnya (Hull et al., 1999:58; Hull et al., 1998: 34; Sulistyaningsih, 2002: 23; Wawancara, 2003). 10 MenurutLSM Yayasan Pelita Ilmu, profil pecun, juga alasan mereka menjadi pecun, bervariasi.Misalnya, pecun kelas bawah melakukan aktivitas ini karena dorongan ekonomi,seperti untuk membeli baju atau buku sekolah atau untuk memenuhi kebutuhanlain. Sebaliknya, pecun lain dari latar belakang yang lebih berkecukupan melakukankegiatan ini lebih sebagai pilihan gaya hidup dan untuk menikmati produk konsumen,seperti telepon genggam, restoran mahal, baju buatan perancang dan produkkonsumeristis. Fenomena ini hanya ditemui di pusat-pusat kota besar seperti Jakarta,Yogyakarta, Surakarta, Medan, Semarang dan Surabaya. 11PecunDewi (nama samaran) adalah seorang gadis cantik berusia 15 tahun yang sempat mengecap pendidikansampai tingkat SLTP. Ia sering mengunjungi sebuah mal di Jakarta Selatan, tempat ia bekerja sebagaipecun. Ia mempunyai seorang saudara perempuan, sedangkan orang tuanya sudah bercerai. Keluarganyatidak kaya namun juga tidak miskin. Dewi awalnya diperkenalkan kepada gaya hidup pecun oleh kakakperempuannya yang beberapa tahun lebih tua darinya dan pada waktu itu telah bekerja sebagai pecun.Melalui kakaknya ia mulai belajar nongkrong atau menghabiskan waktu di mal untuk melakukan peresperes,yaitu menemani para lelaki ketika mereka sedang makan dan membiarkan mereka meraba-rabadirinya. Dengan melakukan hal ini Dewi memperoleh uang untuk membeli barang-barang konsumsiyang ia sukai seperti baju, kosmetik dan perhiasan. Ia juga menghambur-hamburkan uangnya untukbersenang-senang, pergi ke klub, nonton film dan nongkrong di hotel. Ia kemudian keluar darisekolahnya. Setelah beberapa lama bergaul di dalam lingkungan ini, ia mulai melakukan hubungan seksdan bekerja sebagai pecun. Ia amat populer di kalangan pelanggannya karena ia masih muda, cantik dansedikit bertampang indo. Karena itu ia dapat mengenakan tarif antara Rp.300.000,00 sampaiRp.500.000,00 per transaksi. Penghasilannya membuatnya sanggup hidup mandiri di sebuah rumah kosyang dihuni berdua dengan kakaknya, dan membayar kebutuhan hidup mereka berdua selainmenyisihkan dana untuk bersenang-senang dan untuk menikmati gaya hidup mewah. Kadang-kadang iajuga mengkonsumsi narkoba untuk selingan. Pada saat ini, Dewi senang dengan kehidupannya.Sumber: Wawancara 2003 dengan YPI10Ada batas yang rapuh antara apa yang di dunia Barat mungkin disebut sebagai ‘seks bebas’ atau ‘gaya hidup orang lajang’ danapa yang di sini dianggap sebagai kerja seks. Misalnya, istilah perek yang merujuk kepada seorang perempuan yang terlibatdalam hubungan seksual dengan berbagai pria demi kesenangan, dan karena ingin bertualang serta bereksperimen dan iamungkin juga akan menerima semacam imbalan atau hadiah merupakan suatu subjek yang layak diselidiki lebih jauh, namundi luar ruang lingkup studi ini. Kendati demikian, dalam bagian IV D, Tradisi Budaya, dikatakan bahwa berkembangnyawacana sosial dan seksual merupakan fenomena kritis dalam masyarakat Indonesia masa kini.11Terminologi yang digunakan setiap kawasan berbeda-beda. Misalnya, menurut LSM Yayasan Pelita Ilmu, istilah pecundipakai di Jakarta, sementara di Semarang, Solo dan Yogyakarta istilah yang digunakan adalah ciblek (cilikan betah melek atau‘remaja yang suka bergadang’) (Wawancara, 2003).

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!