12.07.2015 Views

PNACU645

PNACU645

PNACU645

SHOW MORE
SHOW LESS

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

46 Perdagangan Perempuan dan Anak di Indonesiadi Arab Saudi, pemerintah secara resmi mengimbau pengurangan jumlah buruhmigran perempuan, dengan meminta PJTKI resmi untuk meningkatkan rasio buruhmigran lelaki terhadap buruh migran perempuan dan menyatakan bahwa Indonesiatidak akan mengirim lagi tenaga kerja yang tidak berketerampilan ke luar negeri.Namun permintaan terhadap tenaga kerja perempuan yang tidak memilikiketerampilan untuk menjadi pembantu rumah tangga sedemikian tingginya sehinggaketentuan itu umumnya tidak diacuhkan (Jones 2000: 18-19, 80-82), dan perempuantetap unggul dalam prosentase buruh migran yang dikirim ke Arab Saudi, serta kenegara-negara lain, untuk bekerja di sektor informal.Kendati demikian, pada bulan Februari 2003, Departemen Tenaga Kerja danTransmigrasi kembali untuk sementara memerintahkan pelarangan pengirimanperempuan untuk bekerja di sektor informal di luar negeri. Menteri Tenaga Kerjadan Transmigrasi Jacob Nuwa Wea mengatakan bahwa larangan ini perludiberlakukan karena “buruh Indonesia ‘secara mental belum matang’ dan tidakmenguasai bahasa asing, serta tidak memahami budaya negara lain, yang merekaperlukan untuk bekerja di luar negeri” (Kearney, 2003). Ia menekankan bahwapelarangan sementara ini diperlukan untuk meningkatkan “mutu buruh migranIndonesia”. Namun ia tidak membahas masalah eksploitasi dan perdagangan buruhmigran Indonesia (Sijabat, 2003). LSM-LSM di Indonesia berpendapat bahwakebijakan ini melanggar hak asasi manusia perempuan Indonesia dalam hal kebebasanbergerak. LSM-LSM itu yakin bahwa larangan semacam itu hanya akan memberiperbaikan jangka-pendek; sebaliknya, menurut mereka pemerintah harusmemfokuskan diri pada pengesahan Rancangan Undang-undang Perlindungan BuruhMigran yang sudah diajukan ke DPR sejak 4 tahun lalu (‘Tanpa UU,’ 2003).Hugo beranggapan bahwa “[buruh migran] perempuan Indonesia sering kali secaratidak adil dipersalahkan habis-habisan atas masalah yang mereka hadapi. Para pejabatdi negara tujuan menyebut ketidakterampilan dan rendahnya tingkat pendidikansebagai penyebab masalah mereka.” Namun menurut Hugo, “Jawaban untukmemperbaiki keadaan [buruh migran] bukan dengan cara memberlakukan laranganuntuk bermigrasi. . . .Larangan demikian hanya akan mengakibatkan [buruh migran]perempuan terpaksa berangkat sebagai imigran gelap, yang membuat mereka makinrentan” (Hugo, 2002: 177).(3) Stereotip Gender terhadap perempuan dalam situasi kerja yang mencerminkan peran tradisionalmereka sebagai pengasuh dan “penghibur”.Perempuan Indonesia sejak dulu dipandang dalam perannya sebagai istri dan ibu,yaitu mengurus keluarga dan rumah tangga, atau sebagai objek seks. Sebagaimanadi banyak belahan dunia lain, stereotip demikian tetap berlaku dalam pekerjaanyang dilakukan perempuan di pasar tenaga kerja, baik di Indonesia maupun sebagaiburuh migran, dengan mengambil pekerjaan sebagai pembantu rumah tangga,pengasuh bayi, perawat orang lanjut usia, penari dan pekerja seks. Pendidikan yang

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!