28.11.2014 Views

Mengkaji Implementasi Perda Pelayanan Publik ... - psflibrary.org

Mengkaji Implementasi Perda Pelayanan Publik ... - psflibrary.org

Mengkaji Implementasi Perda Pelayanan Publik ... - psflibrary.org

SHOW MORE
SHOW LESS

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

mengidentifikasi masyarakat dalam dan sekitar hutan sebagai ancaman potensial<br />

bagi perusahaan perkayuan; padahal SK tersebut bertujuan melindungi hak-hak<br />

masyarakat atas HHNK (hasil Hutan Non Kayu) dan pemanfaatan kayu untuk<br />

tujuan non komersial. SK bersama 3 departemen (Pertanian, Dalam Negeri,<br />

Transmigrasi dan Perambah Hutan) nomor 480/Kpts-II/1993 juga menggambarkan<br />

MSH yang melaksanakan perladangan berpindah sebagai perusak SDH.<br />

Model pembangunan kehutanan ala Orde Baru yang tidak mempedulikan dan<br />

memperhatikan kelestarian SDH dan memberangus akses MSH tidak sepi kritik.<br />

Dimulai pada tahun 1978 saat diselenggarakan Kongres Kehutanan Sedunia di<br />

Jakarta yang mengambil tajuk ”forest for people”, hutan untuk rakyat. Salah satu<br />

rekomendasi penting konggres ini adalah perlunya pembangunan kehutanan yang<br />

lebih memperhatikan kesejahteraan masyarakat setempat dengan cara melibatkan<br />

mereka dalam kegiatan kehutanan.<br />

Asumsi yang dikembangkan adalah MSH sebagian besar dalam kondisi miskin,<br />

karena itu mereka melakukan tindakan merusak hutan demi memenuhi kebutuhan<br />

ekonomi. Sejak saat itu mulai dilansir gagasan pembangunan kehutanan dengan<br />

pendekatan kesejahteraan (prosperity approach), maksudnya menjadikan<br />

kesejahteraan masyarakat setempat sebagai basis dan tujuan pengelolaan<br />

hutan. Oleh Perhutani gagasan itu diterjemahkan dalam bentuk program Inmas<br />

Tumpangsari (Intensifikasi Massal Tumpangsari) di hutan Jawa. Sayangnya<br />

program ini kurang menyentuh persoalan yang hakiki, yaitu akses SDH. Alih-alih<br />

mensejahterakan masyarakat, justru yang terjadi adalah eksploitasi tenaga kerja<br />

murah demi kepentingan perhutani. Masyarakat hanya mendapatkan lahan andil<br />

untuk ditanami palawija sembari diberi kewajiban memelihara tanaman pokok<br />

(jati) hingga 2-3 tahun. Mereka sama sekali tidak diperkenankan menikmati hasil<br />

tanaman kayu yang mereka tanam. Padahal hasil dari tumpangsari itu sangat<br />

tidak mencukupi kebutuhan hidup mereka. Setelah program Inmas Tumpangsari<br />

muncul program-program lain yang mencoba mengintegrasikan isu-isu kehutanan<br />

dan isu-isu pembangunan MSH, mulai dari MALU (Mantri dan Lurah), PMDH<br />

(Pembangunan Masyarakat Desa Hutan), PS (Perhutanan Sosial) hingga yang<br />

terbaru adalah PHMB (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat).<br />

Di luar Jawa integrasi isu kesejahteraan masyarakat dalam kegiatan pengelolaan<br />

hutan relatif terlambat, setelah banyak muncul protes dan konflik penduduk<br />

setempat dengan HPH. Sebagai jawaban, tahun 1992 pemerintah meluncurkan<br />

kebijakan HPH Bina Desa Hutan yang mewajibkan setiap HPH membina paling<br />

sedikit 1 desa dalam setahun. Bentuknya adalah program-program comunity<br />

development, seperti memberikan bantuan dana untuk kegiatan ekonomi rakyat,<br />

pembangunan sarana dan infrastruktur dan kegiatan-kegiatan lain yang bersifat<br />

sosial. Namun berbagai upaya itu sepertinya tidak banyak membawa perubahan<br />

bagi kehidupan ekonomi MSH. MSH tetap dijauhkan dari akses SDH. Program dan<br />

proyek yang berlabel “sosial” itu lebih bersifat charity, sebagaimana politik etis yang<br />

dilakukan pada zaman kolonial daripada benar-benar memberikan kesempatan<br />

dan membuka ruang kepada MSH untuk mengelola dan mengakses<br />

234

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!