Islam dan Kebebasan
Create successful ePaper yourself
Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.
<strong>dan</strong> sering kali disebutkan sebagai salah satu alasan kegagalan<br />
kaum Muslimin dalam mengadaptasi modernisasi.<br />
Pada bab 5 buku ini, Azhar Aslam menjawab pertanyaan tentang<br />
kebebasan tiap individu dalam memilih <strong>dan</strong> hubungannya<br />
dengan ajaran <strong>Islam</strong>. Penulis menekankan bahwa, menurut<br />
Al Quran contohnya, di hari penghakiman, konsekuensi atas<br />
perbuatan kita di dunia (dalam bentuk hadiah atau hukuman)<br />
berbeda-beda antara satu individu dengan individu lainnya.<br />
Karena itulah, tak ada yang bertanggung jawab atas tindakan<br />
orang lain. Tanggung jawab juga mengisyaratkan kebebasan<br />
untuk memilih, tanpa mengubah-ubah hukuman. Jika Al Quran<br />
agak eksplisit dalam mengusulkan kebebasan memilih individu,<br />
bagaimana kita bisa menjelaskan penolakan penggunaan<br />
kebebasan ini? Hukuman atas kemurta<strong>dan</strong> sering dicontohkan<br />
sebagai bentuk pelanggaran terberat terhadap kebebasan<br />
seseorang untuk memilih atau menolak agama <strong>Islam</strong>. Namun,<br />
Azhar Aslam menjelaskan bahwa hukuman untuk kemurta<strong>dan</strong><br />
tidak melekat dengan ajaran <strong>Islam</strong>. Hukuman ini berkembang<br />
dalam konteks politik ketika <strong>Islam</strong> tak lagi dipahami sebagai<br />
sistem nilai yang mengunggulkan keadilan <strong>dan</strong> kebebasan.<br />
Hak-hak perempuan merupakan aspek penting lainnya yang<br />
harus dibahas serius dalam dunia <strong>Islam</strong>. Dalam bagian ke enam,<br />
Souan Adnane menegaskan bahwa budaya sosial <strong>dan</strong> normanorma<br />
agama memengaruhi posisi perempuan di dunia <strong>Islam</strong>.<br />
Karena itulah, penulis mengacu pada sifat patriarki Timur<br />
Tengah <strong>dan</strong> Afrika Utara (Middle East and North Africa/MENA),<br />
yang dicirikan dengan pemisahan ranah “pribadi” <strong>dan</strong> “umum”<br />
yang membatasi <strong>dan</strong> memalsukan peran gender. Interpretasi<br />
agamis sering kali digunakan untuk membenarkan praktekpraktek<br />
budaya <strong>dan</strong> membentuk persepsi masyarakat. Hal<br />
ini jelas diterjemahkan dalam kurangnya partisipasi dalam<br />
bi<strong>dan</strong>g politik <strong>dan</strong> ekonomi. Walaupun demikian, negaranegara<br />
MENA mencatatkan nilai terendah sedunia dalam hal<br />
partisipasi tenaga kerja perempuan di pasar (hanya 25%, lebih<br />
rendah dari rata-rata dunia yang mencapai 50%). Namun, Souad<br />
Adnan menekankan bahwa <strong>Islam</strong> tidak membatasi partisipasi<br />
9