Islam dan Kebebasan
You also want an ePaper? Increase the reach of your titles
YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.
yang menggabungkan aspek politik <strong>dan</strong> etika, serta negara<br />
(yang didasarkan pada ideologi ini) mengendalikan semua<br />
aspek kehidupan (Qutb, 1953; Maududi, 1985). Berdasarkan<br />
pendapat cendekiawan <strong>Islam</strong>is seperti Maududi <strong>dan</strong> Qutb yang<br />
menghilangkan perbedaan antara ranah publik <strong>dan</strong> pribadi<br />
serta pengutamaan kepentingan umum di atas kepentingan<br />
pribadi, maka <strong>Islam</strong>isme juga bisa dianggap sebagai salah satu<br />
wujud totaliterisme (Esposito, 1998), sehingga tidak cocok<br />
diterapkan dalam dunia yang bebas atau liberal 4 .<br />
Dalam pemaparan kami tentang jawaban kaum Muslim<br />
liberal tersebut, kami akan menggunakan analisis Leonard<br />
Binder (1988). Binder membedakan antara liberalisme <strong>Islam</strong><br />
atau <strong>Islam</strong> liberal (halaman 24-44) meskipun, dengan alasan<br />
tertentu, kedua pendekatan ini menyatakan bahwa <strong>Islam</strong><br />
<strong>dan</strong> sistem demokratis bebas atau liberal cocok satu sama<br />
lain. Pada cabang pertama liberalisme <strong>Islam</strong> terdapat dua<br />
justifikasi untuk sistem politik demokratis liberal dalam umat<br />
<strong>Islam</strong>. Pertama, sistem demokratis liberal sesuai dengan jiwa<br />
<strong>Islam</strong> secara umum, yaitu toleran terhadap keragaman seperti<br />
yang ditunjukkan dalam hadist Nabi Muhammad, “Perbedaan<br />
pendapat di dalam kaumku merupakan rahmat dari Allah.”<br />
Kedua, <strong>Islam</strong> sejauh ini tidak banyak berbicara tentang tatanan<br />
politik dalam umat <strong>Islam</strong>. Karena itulah, aturannya tidak terlalu<br />
mengekang, kecuali tentang syura’ (konsultasi) terkait dengan<br />
urusan-urusan politik. Kelompok <strong>Islam</strong> liberal berpendapat,<br />
kaum Muslim dapat memilih tatanan politik demokratis <strong>dan</strong><br />
liberal serta mengabaikan tatanan politik alternatif lainnya.<br />
Se<strong>dan</strong>gkan pada cabang liberalisme <strong>Islam</strong> yang kedua,<br />
referensi tertentu terhadap <strong>Islam</strong> mendasari pendapat yang<br />
mendukung kecocokan <strong>Islam</strong> <strong>dan</strong> sistem demokrasi liberal.<br />
Umat <strong>Islam</strong> liberal ini mengacu pada “hukum yang tersurat,<br />
4 Bahkan Maududi (1985) sendiri menerima kenyataan bahwa negara <strong>Islam</strong> yang ia dukung<br />
mencerminkan bentuk negara fasis <strong>dan</strong> komunis berdasarkan definisi tersebut. Namun ia<br />
meyakini bahwa, sekalipun negara <strong>Islam</strong> adalah negara yang mengatur semuanya, negara<br />
ini tidak sama dengan negara totaliter <strong>dan</strong> otoriter modern (halaman 30). Bagi Maududi,<br />
yang menjadikan totaliterisme <strong>Islam</strong> sebagai bentuk totaliterisme yang baik <strong>dan</strong> berbeda<br />
jauh dari totaliterisme modern adalah sistem negara ini berasal dari perintah Tuhan<br />
(Esposito, 1998: 153).<br />
18