Islam dan Kebebasan
Create successful ePaper yourself
Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.
Debat ini menimbulkan dua implikasi penting. Pertama adalah<br />
tanggung jawab. Siapa yang bertanggung jawab terhadap<br />
peristiwa yang terjadi? Manusia atau Tuhan? Kita ataukah Sang<br />
Pencipta? Jika Tuhan menentukan semuanya sebelum terjadi<br />
<strong>dan</strong> mendikte kita, maka kita tidak perlu bertanggung jawab<br />
terhadap perbuatan kita karena semua itu sudah menjadi takdir<br />
kita <strong>dan</strong> tertulis di kening kita. Di sisi lain, jika manusia dapat<br />
menentukan tindakannya sendiri, maka mereka bertanggung<br />
jawab terhadap tindakan itu.<br />
Kedua adalah implikasi politis. Dinasti Umayyah menyukai<br />
argumentasi takdir ini <strong>dan</strong> menggunakannya untuk<br />
menjustifikasi pola pemerintahannya yang menindas. Dinasti ini<br />
berpendapat bahwa yang terjadi adalah ‘takdir kita’ yang telah<br />
ditentukan oleh Tuhan. Jika Tuhan tidak menginginkan semua<br />
itu terjadi, maka Dia tidak akan mengizinkan hal itu terjadi<br />
sama sekali. Sehingga, masyarakat diharapkan memahami<br />
kepemimpinan yang menindas tersebut sebagai takdir yang<br />
telah digariskan <strong>dan</strong> menerimanya. Bahkan kenyataannya,<br />
pan<strong>dan</strong>gan <strong>dan</strong> sikap fatalis ini diadopsi secara luas di kalangan<br />
umat <strong>Islam</strong> sehingga kepemimpinan diktator <strong>dan</strong> dinasti yang<br />
menindas <strong>dan</strong> sangat berkuasa memanfaatkannya untuk<br />
melegitimasi kepemimpinan yang salah itu.<br />
Apakah keimanan dapat meningkat <strong>dan</strong> menurun?<br />
Ada salah satu alur pemikiran menyatakan bahwa “tidak ada<br />
peningkatan atau penurunan keimanan (keyakinan terhadap<br />
Tuhan <strong>dan</strong> Hari Pembalasan). Iman bisa ada atau tidak ada,<br />
tapi tidak meningkat atau menurun. Seseorang bisa menjadi<br />
orang yang beriman (mukmin) <strong>dan</strong> bisa pula menjadi orang<br />
yang tidak beriman (kafir), tapi tidak bisa menjadi orang<br />
yang ‘setengah beriman’. Di sisi lain, ada pula kelompok yang<br />
berpendapat sebaliknya, bahwa keimanan dapat meningkat<br />
atau menurun sehingga seseorang dapat menjadi orang yang<br />
‘sepenuhnya beriman’ atau ‘setengah beriman’.<br />
Implikasi politik yang menarik untuk dipelajari dari argumentasi<br />
kedua ini sangat terkait pajak yang harus dibayarkan oleh orang-<br />
55