vol viii no 1 juli 2013
vol viii no 1 juli 2013
vol viii no 1 juli 2013
Create successful ePaper yourself
Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.
Anak Muda, Radikalisme, dan Budaya Populer<br />
Di sini, pengertian pemuda memiliki makna lebih luas ketimbang<br />
sebelumnya. Mereka banyak berasal dari daerah dan kota-kota kecil,<br />
di mana pendidikan bukan menjadi bagian identitas mereka. Namun,<br />
di tengah situasi re<strong>vol</strong>usi, mereka mendapatkan embel-embel sebutan<br />
“pejuang”, “pelopor”, atau kaum republiken. Banyak di antara mereka<br />
juga bergabung ke organisasi-organisasi bersenjata, seperti Tentara<br />
Nasional Indonesia (TNI), laskar-laskar, organisasi perjuangan lainnya.<br />
Ketiga, pada masa demokrasi terpimpin, generasi baru anak muda disebut<br />
dengan “Angkatan 57”. Generasi ini lahir dari situasi banyaknya partai<br />
politik dan kerentanan keberpihakan Presiden ke salah satu partai besar,<br />
dalam hal ini PKI. Berdirinya kesatuan-kesatuan aksi, seperti KAMI,<br />
KAPI, dan KAPPI adalah bentuk sikap politik kritis mereka. Keempat,<br />
pada masa Orde Baru, di mana anak muda dijauhkan dan dihindari<br />
dalam urusan politik dan gerakan. Definisi anak muda didepolitisasi dan<br />
dibonsai sebagai anak remaja. Kata remaja ini merujuk pada ABG (Anak<br />
Baru Gede), yang digambarkan sebagai ‘kumpulan orang yang belum<br />
matang, cenderung bergerombol, kadangkala mengenakan seragam<br />
sekolah, tidak disiplin, gampang naik darah, liar, dan terutama menjadi<br />
bagian yang tidak penting.<br />
Islamisasi Ruang Publik Pasca Rezim Orde Baru<br />
Peristiwa 1965-1966, dengan terbunuhnya 1 juta manusia Indonesia<br />
atas nama PKI dan di-PKI-kan, yang dicampuradukan dengan Gerakan<br />
30 September, diiringi dengan “penyerahan wewenang” dari Soekar<strong>no</strong><br />
melalui Supersemar (Surat Perintah Umum 11 Maret), membuat Soeharto<br />
naik menjadi orang <strong>no</strong>mor satu di Indonesia. Pembersihan “sampai<br />
keakar-akarnya” atas mereka yang disebut, dianggap, dan berafiliasi<br />
dengan komunis (baca: PKI) dan pembuatan fiksi sejarah mengenai<br />
PKI dan Gerwani yang telah membunuh tujuh Jenderal, menjadi alat<br />
indoktrinasi rejim Soeharto melalui sistem pemerintahannya. Setelah<br />
orang-orang komunis dianggap sudah ‘tidak terlalu’ menjadi ancaman, di<br />
tengah penguatan struktur pemerintahannya, rezim Soeharto kemudian<br />
membuat terapi kejut kepada organisasi-organisasi kemasyarakatan Islam<br />
yang dianggap menjadi ancaman di tengah ideologisasi tunggal Pancasila<br />
yang diterapkan. Meskipun diakui, organisasi-organisasi Islam inilah<br />
yang membantu rezim Soeharto ‘membersihkan’ kepada mereka yang<br />
dianggap PKI dan di-PKI-kan. Dua peristiwa pembantaian komunitas<br />
136 MAARIF Vol. 8, No. 1 — Juli <strong>2013</strong>