20.11.2014 Views

vol viii no 1 juli 2013

vol viii no 1 juli 2013

vol viii no 1 juli 2013

SHOW MORE
SHOW LESS

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

Anak Muda, Radikalisme, dan Budaya Populer<br />

perubahan sosial (Harvard Gazette, 20/4/10). Film sebagai<br />

kekuatan dalam aktifisme sosial diyakini tengah berkembang luas,<br />

bahkan juga dipakai sebagai bentuk kritik pada hegemoni arus<br />

besar Hollywod yang hanya menghamba pada hasrat pasar”<br />

Film untuk kampanye perubahan sosial pernah disinggung dengan<br />

cukup tepat, dengan menggunakan perangkat teori sosial marketing<br />

oleh Rosidah Syaukat dan Ekky Imanjaya (2011) dalam sebuah paper<br />

berjudul Film sebagai Media Social Marketing: Yasmin Ahmad Berjualan<br />

Ide Multikulturalisme. Keduanya menyinggung tentang film dalam kajian<br />

ilmu sosial yang mampu menghantarkan gagasan-gagasan perubahan<br />

sosial. Hal ini, seperti juga disinggung oleh Rosidah dan Imanjaya sudah<br />

terjadi jauh sejak masa re<strong>vol</strong>usi Bolshevik dimana film digunakan sebagai<br />

alat propaganda. Bahkan memaikan peran yang cukup signifikan untuk<br />

memengaruhi sikap dan perilaku politik massa. Urgensi film sebagai alat<br />

propaganda ini dikuatkan oleh Rosidah dan Imanjaya melalui kutipan<br />

penting seorang Vladimir Lenin. Ketika itu Lenin berkata: “ Dari semua<br />

kesenian, bagi kami, sinema adalah yang paling penting.”<br />

Sejarah film di Indonesia pun mengalami situasi yang demikian. Dalam<br />

penelusuran Rosidah dan Imanjaya, penggunaan film sebagai media<br />

kampanye atau propaganda sudah ditemukan sejak tahun 1938. Rosidah<br />

dan Imajaya menyebut bahwa film Tanah Sabrang besutan Manus Franken<br />

adalah film dokumenter yang digunakan untuk penyuluhan pencegahan<br />

wabah pes yang di dalamnya menggunakan tokoh pewayangan yakni:<br />

Punakawan. Tak hanya itu, pada masa Orde Baru, publik Indonesia juga<br />

mengalami dimana propaganda agenda politik juga pernah dilakukan<br />

oleh rezim Soeharto melalui film Pemberontakan G 30S/PKI. Sementara<br />

pasca Orde Baru, kita juga disajikan karya-karya sinema dengan muatan<br />

pesan perubahan sosial, seperti karya-karya Garin Nugroho dengan<br />

satire politik kebangsaan, Nia Dinata yang kaya akan penerepongan isu<br />

gender dan feminisme, dan Deddy Mizwar dengan ajakan kritik sosial,<br />

pemerintahan yang bersih dan demokrasi. Penting juga disebutkan disini<br />

adalah titik tolak film Kuldesak, yang merupakan kolase film pendek<br />

dari sutradara muda yang menghentak atmosfir sinema Indonesia. Yang<br />

oleh banyak pengamat film disebut sebagai angin baru sinema Indonesia<br />

pada kurun waktu tahun akhir tahun 1990-an hingga tahun 2000 awal.<br />

Catatan lengkap mengenai pemetaan politik dan eko<strong>no</strong>mi industri film<br />

di Indonesia, termasuk didalamnya menyinggung sisi historis film di<br />

144 MAARIF Vol. 8, No. 1 — Juli <strong>2013</strong>

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!