vol viii no 1 juli 2013
vol viii no 1 juli 2013
vol viii no 1 juli 2013
Create successful ePaper yourself
Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.
Paradoks Kebangsaan Siswa Kita<br />
Kartosoewiryo dengan Islamisme-nya. Tiga warisan inilah yang terusmenerus<br />
bertikai dalam peta politik Indonesia yang katanya demokratis,<br />
tetapi terkadang lalai dalam mengawal elan dasar kesatuan kebangsaan<br />
dan keagamaan yang dirumuskan dengan sangat elegan dalam Pancasila.<br />
Pancasila adalah jalan tengah antara kiri, kanan dan tengah. Semua<br />
kepentingan etnik, budaya dan agama terangkum dengan baik dalam<br />
rumusan sila-silanya. Mengapa harus Pancasila, karena seperti Supomo<br />
Indonesia tidak perlu menjadi Negara Islam, tetapi menjadi Negara<br />
yang memakai dasar moral yang luhur yang dianjurkan juga oleh agama<br />
Islam. Tetapi meskipun alasan Supomo diterima oleh banyak nasionalis<br />
Islam waktu itu, namun perdebatan tentang hal tersebut muncul<br />
kembali pada tahun 1950-1959, dan setelah lengsernya Presiden Suharto<br />
serta munculnya Reformasi 1998 sampai sekarang, Pancasila seperti tak<br />
bergaung lagi.<br />
Gagasan kesatuan kebangsaan dan keagamaan juga bisa ditelusuri<br />
jejaknya dari tulisan Muhamad Hatta tentang “Collectivisme” (1930).<br />
Dalam pandangan Hatta, suatu bangsa tidak mungkin dibangun<br />
tanpa prinsip-prinsip solidaritas dan subsidiaritas. Prinsip solidaritas<br />
mengisyaratkan perlunya kerja sama (koperasi) yang aktif secara kolektif<br />
dari komponen-komponen budaya, etnik, tradisi dan agama yang ada<br />
dalam masyarakat. Prinsip subsidiaritas ialah nilai-nilai kebersamaan di<br />
mana yang mampu membantu yang tidak mampu, yang kuat membantu<br />
yang lemah, khususnya di bidang eko<strong>no</strong>mi, pendidikan dan kebudayaan.<br />
Semangat inilah yang seharusnya mendominasi struktur berpikir<br />
masyarakat Indonesia saat ini.<br />
Tetapi yang terjadi adalah sebaliknya, kesatuan kebangsaan dan<br />
keagamaan tercabik-cabik oleh hasrat dan syahwat kepentingan golongan<br />
tertentu saja, dan menjadikan masyarakat kita saat ini tak lagi menghargai<br />
keragaman etnik, budaya, tradisi dan agama yang menjadi kekayaan<br />
bangsa. Abdul Hadi WM dengan amat geram melukiskan kondisi saat<br />
ini sebagai akibat dari rendahnya apresiasi kita terhadap segala jenis<br />
keragamaan kebangsaan dan keagamaan bangsa sendiri, tetapi lebih<br />
menerima kebudayaan bangsa lain sebagai way of life. “Bangsa yang lebih<br />
memuliakan kebudayaan bangsa lain pertanda ia menjadikan dirinya<br />
hina dan tak bermartabat. Kendati mereka sering menutupi kehinaan<br />
dirinya dengan sikap yang congkak, sok pintar dan sok bijak.”<br />
70<br />
MAARIF Vol. 8, No. 1 — Juli <strong>2013</strong>