vol viii no 1 juli 2013
vol viii no 1 juli 2013
vol viii no 1 juli 2013
Create successful ePaper yourself
Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.
Yang Muda, Yang Radikal<br />
saya tengah menjadi Ketua Pengurus Daerah PII Kodya Pekalongan. Pada<br />
masa itu, PII dianggap sebagai ‘organisasi radikal’ karena merupakan<br />
satu dari sedikit sekali organisasi yang berani me<strong>no</strong>lak kebijakan “Asas<br />
Tunggal” sehingga akhirnya sempat dianggap ‘membubarkan diri’.<br />
Pada masa itulah saya sempat ikut dalam kegiatan Studi Islam<br />
Intensif (SII)—sebelumnya bernama “Latihan Mujahid Dakwah”—<br />
yang diselenggarakan di Masjid Salman ITB Bandung, sebuah pioner<br />
gerakan dakwah di kampus. Pada waktu itu juga saya sempat mengikuti<br />
“pesantren kilat” sebuah kegiatan yang diselenggarakan oleh Lembaga<br />
Penelitian dan Pengembangan Pesantren Kilat (LP3K), sebuah gerakan<br />
yang dimotori oleh kader-kader muda DI yang dipimpin oleh Mursalin<br />
Dahlan. LP3K juga memiliki hubungan dekat dengan Abdullah Sungkar,<br />
pendiri pondok pesantren Ngruki yang kemudian mendirikan Jamaah<br />
Islamiyah (JI) pada tahun 1993 bersama dengan Abu Bakar Ba’asyir<br />
(ICG 2005).<br />
Ringkas cerita: saya pernah terlibat dan menjadi bagian dari gerakan<br />
radikal Islam, bahkan gerakan Jihadi yang menghalalkan penggunaan<br />
kekerasan dan teror dalam mencapai tujuan moral dan politiknya, ketika<br />
periode awal masa remaja. Tapi kenapa saya tidak terus berlanjut menjadi<br />
aktivis gerakan Islam radikal, bahkan kelompok Jihadi, dalam periode<br />
lanjut aktivisme saya dalam gerakan kepemudaan Islam? Tentu, banyak<br />
faktor yang memengaruhi, namun saya ingin memberi sorotan pada dua<br />
hal terpenting: jejaring sosial dan diskusi kritis.<br />
Ketika terlibat lebih intensif dalam gerakan PII pada masa remaja,<br />
mungkin bisa dikatakan bahwa saya mulai terlibat dalam gerakan Islam<br />
radikal. Menjadi seorang ketua organisasi yang berani melawan kebijakan<br />
represif negara di bawah rezim otoriter tentu bukan tanpa resiko. Adalah<br />
cukup lumrah di antara kami menggunakan istilah Thaghut maupun<br />
Fir’aun yang ditujukan kepada rezim Soeharto, khususnya dalam sesi-sesi<br />
tertutup. Dengan menjadi seorang pemimpin organisasi Islam radikal<br />
pada masa itu, tentu saja saya harus menyiapkan diri untuk sewaktu-waktu<br />
dipanggil (bahkan ditangkap) oleh aparat pemerintah, khususnya militer.<br />
Partisipasi saya dalam kegiatan Pesantren Kilat juga menambah militansi<br />
saya sebagai aktivis Islam, antara lain mengenai keutamaan doktrin jihad<br />
untuk melawan rezim Thaghut, melalui berbagai sesi pelatihan antara lain<br />
dengan menggunakan diskusi interaktif dan me<strong>no</strong>nton foto-foto kekejian<br />
40<br />
MAARIF Vol. 8, No. 1 — Juli <strong>2013</strong>