vol viii no 1 juli 2013
vol viii no 1 juli 2013
vol viii no 1 juli 2013
Create successful ePaper yourself
Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.
Anak Muda, Radikalisme, dan Budaya Populer<br />
pun menggunakan label halal, tak hanya sebagai bagian dari jaminan<br />
halal namun lebih dari itu, menunjukkan kehadiran segmentasi pasar<br />
baru yang tentu membutuhkan treatment marketing baru.<br />
Pasca rezim Orde Baru, geliat ekspresi Islam di ruang publik semakin<br />
marak. Hal ini bisa dimungkinkan karena dua hal. Pertama, reformasi<br />
yang terjadi memberikan ruang kebebasan berekspresi yang jauh lebih<br />
luas; kedua, desentralisasi, yang mengurangi kekuasan pemerintah pusat<br />
dan mengakui otoritas daerah yang jauh lebih besar. Ruang ekspresi yang<br />
lebih luas ini membuka jalan bagi kelompok-kelompok baru dan mereka<br />
yang dulu direpresi di bawah rezim Soeharto untuk tampil lebih leluasa<br />
dalam mengekspresikan dan menguatkan identitas keagamaannya.<br />
Dalam konteks ini, Islamisasi ruang publik bisa dimaklumi sebagai<br />
konsekuensi logis demokrasi. Di lain sisi, penegakan hukum, di tengah<br />
arus sistem demokrasi dan fase transisi, masih terlihat lemah. Hal ini<br />
mengakibatkan menguatnya aspirasi kelompok-kelompok Islamis dan<br />
kecenderungan radikal yang seringkali melakukan aksi kekerasan untuk<br />
mendominasi tuntunannya. Sementara itu, otoritas daerah melalui<br />
desentralisasi di beberapa daerah memiliki sisi positif dan negatif. Sisi<br />
positifnya adalah otoritas daerah bisa membawa pada kesejahteraan<br />
dan keadilan sosial. Sisi negatifnya, menciptakan raja-raja kecil di tiap<br />
daerah memungkinkan korupsi dapat meluas dan menguatnya ekspresi<br />
keagamaan untuk menerapkan kehendaknya sehingga mengakibatkan<br />
tindakan diskriminatif pada kelompok yang berbeda (Salim, Kailani, &<br />
Azekiyah, 2011: 10).<br />
Bertolak dari sini, proses Islamisasi ruang publik bisa dilihat melalui tiga<br />
faktor yang saling terkait, yaitu gerakan, regulasi, dan budaya populer.<br />
Pada aras gerakan, bermunculan organisasi kemasyarakatan Islam yang<br />
menginginkan Islam sebagai dasar negara dan syariah sebagai hukum<br />
setiap kebijakan. Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Majelis Mujahidin<br />
Indonesia (MMI) adalah di antara ormas Islam tersebut. Sementara<br />
itu, FPI (Front Pembela Islam), posisinya lebih pada organisasi<br />
paramiliter keagamaan (religious vigilante). Dengan dalih membela atas<br />
nama Islam, mereka kerap melakukan transaksi politik yang berimbas<br />
pada kepentingan eko<strong>no</strong>mi yang akan didapatkan, khususnya dalam<br />
melakukan razia ke diskotik-diskotik yang dianggap tidak mencerminkan<br />
nilai-nilai keislaman. Fakta ini, seperti ditulis oleh Greg Fealy dan Sally<br />
White dalam pendahuluan buku Ustadz Seleb, Bisnis Moral, & Fatwa<br />
138 MAARIF Vol. 8, No. 1 — Juli <strong>2013</strong>