20.11.2014 Views

vol viii no 1 juli 2013

vol viii no 1 juli 2013

vol viii no 1 juli 2013

SHOW MORE
SHOW LESS

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

Paradoks Kebangsaan Siswa Kita<br />

menjaga dengan sepenuh hati keragaman tersebut. Salah satu cara yang<br />

paling kuat dan strategis dalam menjaga kemajemukan ini adalah proses<br />

pendidikan yang benar. Titik tekan pada kata “proses pendidikan” adalah<br />

adanya kesadaran untuk melakukan penyadaran kepada para guru dan<br />

siswa secara terus menerus tentang pentingnya menjaga dan melestarikan<br />

kemajemukan tersebut. Dalam konteks ini pendidikan kita nampaknya<br />

memerlukan sebuah bentuk pedagogis yang kritis dalam menanamkan<br />

rasa kemajemukan tadi.<br />

Giroux (2003: 83), seorang ahli di bidang critical pedagogy mengatakan<br />

bahwa pedagogi seharusnya digunakan sebagai rujukan untuk<br />

menganalisis bagaimana sebuah pengetahuan, nilai, keinginan, dan<br />

relasi sosial itu dibentuk. Critical pedagogy juga harus memberi kasadaran<br />

kepada kita bahwa setiap bentuk relasi sosial yang didasarkan pada<br />

nilai, budaya, dan tradisi selalu memiliki implikasi politik di antara<br />

pemegang kekuasaan. Karena itu proses pendidikan mengharuskan<br />

dirinya untuk menggunakan basis kemajemukan tersebut sebagai cara<br />

mengkomunikasikan perbedaan secara benar dan cerdas dalam kerangka<br />

kehidupan berbangsa dan bernegara.<br />

Dalam menjaga kemajemukan Indonesia, para founding fathers bangsa<br />

ini mengemasnya dengan balutan Pancasila sebagai dasar bernegara.<br />

Pancasila adalah harga mati bagi kehidupan bernegara, karena di<br />

dalamnya terkandung banyak makna spiritual yang dapat dijadikan<br />

suluh dalam kehidupan masyarakat. Pancasila juga merupakan bentuk<br />

kompromi politik yang berangkat dari kesadaran untuk memelihara<br />

perbedaan agar tetap selaras dan harmonis. Tetapi melihat bagaimana<br />

interaksi masyarakat di tingkat bawah akhir-akhir ini yang mulai gemar<br />

dengan kekerasan dan main hakim sendiri karena tak senang dengan<br />

adanya perbedaan, mengindikasikan bahwa nilai-nilai kemajemukan<br />

mulai rusak.<br />

Kecenderungan kekerasan dan intoleransi juga sudah merasuki dunia<br />

pendidikan kita. Riset Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP) yang<br />

dirilis Media Indonesia (27/02/2011) mengindikasikan hal ini. Bahkan<br />

secara spesifik riset tersebut juga menemukan fakta bahwa ada di antara<br />

guru agama (21.1%) maupun siswa SMP dan SMA (25.8%) menganggap<br />

Pancasila sudah tidak relevan lagi sebagai ideologi negara. Angka ini<br />

sungguh sangat memprihatinkan dan karena itu otoritas pendidikan kita<br />

72<br />

MAARIF Vol. 8, No. 1 — Juli <strong>2013</strong>

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!