vol viii no 1 juli 2013
vol viii no 1 juli 2013
vol viii no 1 juli 2013
You also want an ePaper? Increase the reach of your titles
YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.
Zora A. Sukabdi<br />
pelaku aksi tentang hakikat spritualitas dalam ajaran agamanya terbentuk<br />
secara garis besar melalui dua kondisi. Pertama, si pelaku yang berlatar<br />
belakang sekolah agama terkondisi sejak kecil untuk belajar agama<br />
dengan konten yang tidak terlalu berfokus pada nilai luhur yang dijunjung<br />
ajaran agama tersebut, melainkan lebih menekankan pada penegakkan<br />
aturan dan pelaksanaan kegiatan ritual. Selain itu, pelajaran agama<br />
diperkenalkan pertama kali sedikit banyak dengan dibarengi oleh stimulus<br />
negatif, seperti ancaman dan kekerasan fisik. Kedua, si pelaku yang<br />
tidak berlatar belakang sekolah agama justru baru saja belajar agama<br />
sehingga mengalami fase euforia. Si pelaku, dalam hal ini, mengalami<br />
suatu ‘sensasi pencerahan’ yang luar biasa yang dinilainya sebagai momen<br />
puncak yang amat sangat berharga, sehingga mau melakukan apa pun<br />
agar ia merasa dirinya bermanfaat untuk agama. Sama halnya dengan<br />
pelaku yang berada di kondisi pertama, pelaku di wilayah kondisi kedua<br />
ini juga menanggalkan daya pikir kritisnya dan menyerap secara bulatbulat<br />
ajaran sang guru yang menjadi inspirator utama yang mengubah<br />
hidupnya. Ia kemudian ingin melakukan re<strong>vol</strong>usi, yaitu sebuah perjalanan<br />
drastis dari ‘<strong>no</strong> body’ (bukan siapa-siapa) menjadi ‘somebody’ (seseorang<br />
yang berarti), sehingga tak heran mengubah secara dramatis perilakunya<br />
sehari-hari (seperti mendadak bersikap tertutup terhadap orang tua,<br />
melakukan kajian agama di tengah malam bersama rekan-rekan secara<br />
eksklusif, mengantarkan guru agama di tengah malam ke tempat tertentu,<br />
dan sebagainya).”<br />
Menurut Wongkaren (2011), ’euforia’ pada ajaran keagamaan yang<br />
baru saja didapatkan sehingga menutup peluang untuk menampilkan<br />
sikap kritis terhadap pemahaman tersebut (cenderung menjadi ‘taklid’<br />
atau taat buta) disebabkan oleh keterbatasan sekolah umum dalam<br />
menyediakan pelajaran agama yang memadai. Yakni, pelajaran agama<br />
yang memberikan pemahaman menyeluruh mengenai tafsir dan latar<br />
belakang turunnya setiap ayat dalam kitab suci (termasuk ayat-ayat<br />
yang berbau perang dan perlawanan). Jumlah pelajaran agama yang<br />
hanya dua jam seminggu di sekolah umum menurut Wongkaren (2011)<br />
berkontribusi dalam situasi ini sehingga siswa didik kurang menguasai<br />
berbagai aturan dan etika dasar ajaran agama yang menjadi pedoman<br />
hidupnya, sehingga implikasinya adalah mereka harus mencari-cari<br />
pelajaran tersebut di kegiatan-kegiatan lain di luar jam formal sekolah.<br />
Menurut Wongkaren (2011), demi mencapai penerapan akan nilai luhur<br />
MAARIF Vol. 8, No. 1 — Juli <strong>2013</strong><br />
87