KAJIAN ORIENTALIS QURAN HADIS - Blog MENGAJAR
KAJIAN ORIENTALIS QURAN HADIS - Blog MENGAJAR
KAJIAN ORIENTALIS QURAN HADIS - Blog MENGAJAR
Create successful ePaper yourself
Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.
dengan al-Qur’an, sebab berdasarkan historisitasnya, biasanya jika para sahabat<br />
mendengar ta’wil ayat lalu mereka menuliskannya ke dalam sahifah yang sama dengan<br />
al-Qur’an. Dan perlu diketahui, bahwa Ignaz mempunyai semangat yang sangat luar<br />
biasa dalam mencari titik kelemahan ajaran Islam, terutama berkaitan dengan hadis.<br />
Rupanya ia menjadikan hadis Abu Sa’id al-Khudri sebagai dasar pijakan pelarangan<br />
penulisan hadis dan hadis Abu Hurairah sebagai dasar pijakan pembolehan penulisan<br />
hadis. Namun sayangnya, Goldziher menyikapi kedua hadis ini sebagai sesuatu yang<br />
kenyataannya saling bertentangan. Padahal menurut ilmu hadis, kedua hadis di atas<br />
dapat dikompromikan, yaitu dengan menggabungkan atau mentarjih keduanya,<br />
sebagaimana metode yang telah diterapkan oleh Yusuf Qardhawi 237 dan Muhammad<br />
‘Ajjaj al-Khatib ataupun ulama-alama lain yang intens dalam ilmu hadis. Berangkat dari<br />
riwayat yang kontradiktif tersebut, maka Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib menawarkan<br />
solusinya dengan metode sebagai berikut: 238<br />
1. Bahwasannya hadis yang diriwayatkan oleh Abu Sa’id al-Khudri adalah tergolong<br />
hadis yang mauquf, sehingga tidak dapat dijadikan hujjah.<br />
2. Dengan metode al-jam’u wa al-taufiq, larangan penulisan hadis berlaku khusus,<br />
yaitu apabila hadis ditulis dalam sahifah yang sama, sehingga ditakutkan akan<br />
terjadi iltibas (bercampurnya al-Qur’an dan al-hadis). Jadi, jika dilihat dari<br />
mafhum mukhalafah-nya, apabila ilat tersebut tidak ada, maka larangan tersebut<br />
tidak berlaku lagi.<br />
4. Larangan penulisan hadis ini berlaku bagi para penghafal (huffaz) hadis yang<br />
sudah diketahui kuwalitas hafalannya, sehingga ditakutkan mereka akan<br />
tergantung pada teks-teks tertulis. Sebaliknya, penulisan hadis ini tetap berlaku<br />
bagi para sahabat yang tidak mampu menghafal dengan baik, seperti kasusnya<br />
Abu Syah.<br />
5. Larangan penulisan hadis ini bersifat umum, akan tetapi ada kekhususan bagi<br />
mereka yang mahir dengan tradisi membaca dan menulis, sehingga tidak ada<br />
kesalahan dalam menulis, seperti kasusnya Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash. Jadi,<br />
penulisan hadis itu sebenarnya sudah ada sejak abad 1 H dan bahkan tidak ada<br />
perselisihan (kontradiksi) sampai akhir abad itu.<br />
Kedua, sebelum kedatangan Islam, masyarakat Arab sudah dalam keadaan maju<br />
dan berkebudayaan. Ketika para sahabat lebih mengandalkan hafalan mereka, bukan<br />
berarti tradisi tulis-menulis tidak ada sama sekali di lingkungan mereka, karena banyak<br />
bukti-bukti sejarah yang mendukung adanya tradisi tulis-menulis di awal Islam ini. Jadi,<br />
sejak masa pra Islam, tradisi tulisan-pun sudah banyak dikenal dalam pagan Arab,<br />
terutama di kalangan penyair, walaupun harus diakui mereka lebih membanggakan<br />
kekuatan hapalan dan menganggap tabu tradisi tulisan ini, 239 bahkan ketabuan itu juga<br />
berimbas pada penulisan hadis yang berlanjut pada periode tabi’in dan telah menjadi<br />
fenomena umum. Bukti lain adanya tradisi tulis menulis ini adalah bahwa di sekitar Nabi<br />
237 Yusuf Qardhawi, Bagaimana Memahami Hadis Nabi, terj. Muhammad al-Baqir, Cet. IV, (Bandung: penerbit Kharisma, 1999), h. 117.<br />
238 Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadis ‘Ulumuhu wa Mushthalahhuh (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), h. 150-152.<br />
239 Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadis ‘Ulumuhu wa Mushthalahhuh (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), h. 140<br />
Kajian Orientalis terhadap al-Qur’an dan Hadis 121