KAJIAN ORIENTALIS QURAN HADIS - Blog MENGAJAR
KAJIAN ORIENTALIS QURAN HADIS - Blog MENGAJAR
KAJIAN ORIENTALIS QURAN HADIS - Blog MENGAJAR
Create successful ePaper yourself
Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.
dikutip, sebagaimana juga disampaikan Juynboll adalah Q.S. al-Baqarah [2]: 143 dan Ali<br />
Imran [3]: 110. Di samping itu, Musthafa Azami menuliskan sedikitnya 10 ayat dan<br />
beberapa hadits. 354 Dari beberapa referensi ulum al-hadits lainnya, pembahasan ini juga<br />
sepertinya diterima secara taken for granted; tidak ada pembahasan yang mendalam<br />
seputar kasus ini. 355<br />
Begitulah posisi sahabat di mata muhaddis. Mereka mendapatkan posisi yang<br />
istimewa daripada generasi lainnnya. Dan keistimewaan tersebut, bagi Muslim,<br />
merupakan anugerah yang diberikan Tuhan kepada mereka, lantaran peran mereka<br />
yang tidak bisa diremehkan dalam perkembangan Islam awal. Hal ini dapat dipahami<br />
tentu saja, karena mekanisme kritik hadits 356 yang digunakan oleh muhaddis<br />
memandang sisi personalitas seorang perawi sebagai hal yang sangat fundamental,<br />
terlebih bagi sahabat dengan kondisi merekalah audiens pertama yang menerima hadits<br />
dari Rasulullah.<br />
Collective Ta’dil: Evolusi<br />
Dari penjelasan di atas terlihat bahwa perkembangan dan stabilitas dictum kullu shahabi<br />
‘udul berada di bawah payung kekuatan teologis. Lebih lanjut, dictum ini menjadi lebih<br />
kuat ketika dalam kritik hadits, ulama tradisonal lebih bersifat sanad oriented yang<br />
berimplikasi kepada penempatan personalitas perawi pada posisi yang tidak bisa<br />
diabaikan. Tentu saja, kajian ini, ketika sampai di tangan Juynboll menjadi berbeda.<br />
Sebagaimana Ia tidak menerima apa yang disampaikan secara teologis begitu saja, ia<br />
juga tidak menerima metode kritik hadits tradisional. Ia melakukan penelitian yang<br />
mendalam dari literatur ke literatur mengenai fenomena ini dan menghasilkan suatu hal<br />
yang berbeda.<br />
Apa yang diperlihatkan oleh Juynboll adalah bahwa ia melakukan riset secara<br />
teliti kepada sederet literature klasik, dan menerapkannya secara kronologis. Dari itu, ia<br />
memperlihatkan kapan dan bagaimana dictum tersebut muncul dan bagaimana<br />
perkembangannya. Kajiannya memperlihatkan bahwa dictum ini berkembang secara<br />
evolutif. Hal lain yang lebih menarik adalah bahwa keberadaan dictum ini, menurut<br />
Juynboll, tidak bisa dilepaskan dari sosok yang begitu terkenal dalam studi hadits, Abu<br />
Hurayrah. 357<br />
354<br />
Musthafa Azami, Minhaj al-Naqd ‘inda al-Muhaddisin (Riyadh: Syirkah al-Thaba’ah al-‘Arabiyyah al-Su’udiyyah, 1982), hlm. 108.<br />
355<br />
As-Suyuti, Tadrib ar-Rawi …, hlm. 214; ‘Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadits (Beirut: Dar el-Fikr, 2006); Mahmud Thahhan, Taysir Mushthalah<br />
al-Hadits (Jeddah: Haramain, t.th)<br />
356<br />
Ulama tradisional, pada awalnya lebih mengunggulkan kritik sanad daripada kritik matan. Bahkan, tidak jarang kritik sanad seolah<br />
menjadi satu-satunya metode yang digunakan dalam kajian otentisitas hadits. Apabila secara sanad hadits tersebut diterima, maka ia<br />
diterima meskipun secara konten atau matannya bermasalah. Lantas, kritik matan hanya menjadi penjelas atau ‘penta’wil’ jika redaksinya<br />
bermasalah, meskipun terkesan dipaksakan. Kecenderungan kepada kritik sanad ini dibenarkan oleh Abu Rayyah. Menurutnya, model kritik<br />
yang lebih terpaku kepada sanad (sanad oriented) ini melahirkan sikap taqlid kepada pendapat terdahulu, terutama kepada imam empat<br />
mazhab. Namun begitu, berbeda dengan Abu Rayyah, Shalahuddin al-Idhlibi menyatakan bahwa meskipun pada awalnya cenderung<br />
terlihat lebih sanad oriented, bukan berarti mereka hanya menggunakan kritik sanad, tanpa kritik matan. Para muhaddis klasik pun telah<br />
menempatkan dasar-dasar metodologi kritik matan. Lihat Abu Rayyah, Adwa’ ‘ala al-Sunnah al-Muhammadiyyah (Kairo: Dar al-Ma’arif:<br />
t.t.); Shalahuddin al-Adlabi, Minhaj Naqd al-Matn ‘Inda ‘Ulama al-Hadits al-Nabawi (Beirut: Dar al-Afaq al-Jadidah, 1983).<br />
357<br />
Persoalan mengenai Abu Hurayrah ini juga dibahas panjang lebar oleh Juynboll dalam G.H.A. Juynboll, Kontroversi Hadits di Mesir terj.<br />
Ilyas Hasan (Bandung: Mizan, 1999).<br />
Kajian Orientalis terhadap al-Qur’an dan Hadis 153