KAJIAN ORIENTALIS QURAN HADIS - Blog MENGAJAR
KAJIAN ORIENTALIS QURAN HADIS - Blog MENGAJAR
KAJIAN ORIENTALIS QURAN HADIS - Blog MENGAJAR
Create successful ePaper yourself
Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.
Back. Di lain sisi, data-data yang digunakan oleh ‘Azami dalam membantah kebermulaan<br />
hukum Islam dimulai pada abad kedua dan ketiga Hijriah adalah data-data abad kedua<br />
Hijriah.<br />
Hemat penulis hal tersebut dipicu dari adanya kesenjangan argumentasi antara<br />
Schacht dan ‘Azami. Schacht tidak meyakini hukum Islam eksis pada abad pertama<br />
Hijriah, karena ia tidak menemukan data-data tertulis tentang hukum Islam yang<br />
dikodifikasikan pada masa itu. Sementara ‘Azami dalam membuktikan keberadaan<br />
hukum Islam telah eksis pada abad pertama Hijriah adalah dengan menunjukkan sabdasabda<br />
Nabi saw. kepada para sahabat terkait masalah hukum dengan data-data yang<br />
terdapat pada abad kedua atau ketiga Hijriah. Di samping itu, ‘Azami, sebagaimana yang<br />
diyakini para Muhaditsîn, menilai bahwa riwayat oral (lisan dengan metode hafalan)<br />
lebih kuat dibanding dengan riwayat tulisan. Sementara Schacht karena ia tidak<br />
mempercayai tradisi kritik para informan hadis (Jarh wa Ta’dîl), sehingga ia tidak<br />
mempercayai riwayat yang tidak tertulis.<br />
Dari sudut pandang yang berbeda inilah, akhirnya para orientalis pasca Schacht,<br />
seperti Juynboll, merasa bahwa ‘Azami belum mematahkan secara sempurna terhadap<br />
seluruh bangunan teori kritik sanad hadis dan kritik kebermulaan fikih ala Joseph<br />
Schacht. Hal ini pada gilirannya memicu para orientalis pasca Schacht untuk<br />
meneruskan teori-teori yang pernah digagas Schacht.<br />
Dengan segala keterbatasan penulis, penulis mencoba mengkritik teori kritik<br />
Joseph Schacht. Hemat penulis, Schacht telah keliru dalam memahami sejarah kodifikasi<br />
hadis. Sebagaimana Goldziher, Schacht juga tidak memahami fase perkembangan<br />
penulisan hadis. Hal ini sebagaimana hasil penelusuran jejak genealogis-arkeologis<br />
hadis yang dilakukan oleh Fuat Sezgin. Menurut Sezgin, penulisan hadis (Kitâbah al-<br />
Hadîts), bukan kodifikasi (Tadwîn al-Hadîts) sebagaimana yang dipahami oleh Schacht,<br />
telah dimulai pada abad pertama Hijriah, bahkan pada masa Rasulullah saw. masih<br />
hidup, dalam bentuk catatan-catatan kecil. Kemudian pada seperempat akhir abad<br />
pertama Hijriah sampai seperempat awal abad kedua Hijriah, hadis dikodifikasikan<br />
(Tadwîn al-Hadîts) atas prakarsa Ibn Syihâb al-Zuhrî. Fase ketiga, Tasnîf al-Hadîts, yaitu<br />
membukukan hadis-hadis dengan metode merunutkan nama-nama Sahabat, yang<br />
kemudian dinamakan dengan kitab al-Musnad. Kemudian pada perkembangan<br />
selanjutnya, pada abad ketiga Hijriah, hadis dikodifikasikan dengan penulisan secara<br />
metodologis, yang kemudian dikenal dengan kitab-kitab Shahîh. 303<br />
Fuat Sezgin secara apik telah memberikan sumbangan yang cukup signifikan<br />
dalam penelitiannya mengenai tradisi penulisan hadis yang dilakukan oleh para sahabat<br />
Nabi. Baginya, tradisi penulisan hadis telah terjadi pada permulaan abad pertama<br />
Hijriah. Hal ini dapat dibuktikan dengan keberadaan Shahîfah-shahîfah (lembaranlembaran)<br />
hadis yang ditulis oleh para sahabat. Di antara para sahabat Nabi yang telah<br />
menulis shahîfah-shahîfah adalah;<br />
a. Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash (65/784M), penulis shahîfah hadis yang beliau namakan<br />
“al-Shadiqah”. Hadis-hadis yang terekam dalam shahifâh ini beserta sanadnya bisa<br />
303 Fuat Sezgin, Geschichte des Arabischen Schrifttums, diarabkan oleh Mahmûd Hijâzî dengan tajuk, Târîkh Turâts al-Arabî (Riyâdh: Jami’ah<br />
al-Imâm Ibn Su’ûd, tt) vol.I, h.119.<br />
Kajian Orientalis terhadap al-Qur’an dan Hadis 139