07.06.2015 Views

Membela Kebebasan Beragama 1 - Democracy Project

Membela Kebebasan Beragama 1 - Democracy Project

Membela Kebebasan Beragama 1 - Democracy Project

SHOW MORE
SHOW LESS

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–<br />

Begitu juga, ayat 2 pasal yang sama membuka rangkaian<br />

persoalan yang selalu diperdebatkan. Di situ dikatakan, “Negara<br />

menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk<br />

agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya<br />

dan kepercayaannya itu.” Ayat ini, boleh dibilang, menjadi<br />

locus classicus perbantahan tentang eksistensi kelompok-kelompok<br />

kepercayaan lokal (local beliefs) yang seyogianya dibedakan dari kelompok-kelompok<br />

keagamaan (religions). Tapi, jika dicermati latar<br />

belakang penyusunannya, frase “dan kepercayaannya itu” tidak merujuk<br />

pada eksistensi kelompok-kelompok kepercayaan yang ada,<br />

melainkan pada fakta pluralitas internal dalam umat Islam. <br />

terobosan terhadap sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Ia menulis: “Dapatkah atas<br />

asas negara itu kita mengakui kemerdekaan keyakinan orang yang meniadakan<br />

Tuhan? Atau keyakinan agama yang mengakui Tuhan berbilangan atau berbagibagi?<br />

[...] Tentu dan pasti! Sebab undang-undang dasar kita, sebagai juga undangundang<br />

dasar tiap-tiap negara yang mempunyai adab dan kesopanan, mengakui<br />

dan menjamin kemerdekaan keyakinan agama, sekadar dengan batas yang tersebut<br />

tadi itu, yaitu asal jangan melanggar hak-hak pergaulan dan orang masingmasing,<br />

jangan melanggar adab kesopanan ramai, tertib keamanan dan damai.”<br />

Lihat Salim (t.t.: 223, ejaan sudah disesuaikan). Sayangnya, terobosan penafsiran<br />

terhadap implikasi sila pertama Pancasila itu hanya menjadi suara pinggiran, dan<br />

hampir dilupakan dalam pergulatan selanjutnya.<br />

<br />

Usul tambahan frase yang dicetak miring datang dari Mr. K.R.M.T. Wongsonagoro,<br />

Bupati Sragen yang menjadi anggota Panitia Kecil Perancang UUD<br />

pada rapat tanggal 13 Juli 1945. Kita tidak memiliki rekaman langsung proses<br />

penyusunan pasal itu. Namun risalah yang ada memperlihatkan, usulan itu didasarkan<br />

atas pertimbangan bahwa pasal itu “mungkin diartikan, bahwa negara<br />

boleh memaksa orang Islam untuk menjalankan syari’at agama.” Jika rekaman ini<br />

diterima, maka frase tersebut memang tidak merujuk pada eksistensi kelompokkelompok<br />

kepercayaan. Lihat Saafroedin Bahar, dkk. (1995: 225, cetak miring<br />

ditambahkan).<br />

<strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong>: Catatan Pengantar –<br />

xv

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!