03.03.2015 Views

Puisi-Esai-Kemungkinan-Baru-Puisi-Indonesia-ebook

Puisi-Esai-Kemungkinan-Baru-Puisi-Indonesia-ebook

Puisi-Esai-Kemungkinan-Baru-Puisi-Indonesia-ebook

SHOW MORE
SHOW LESS

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

Di rembang petang minggu kedua<br />

Lelaki pengunyah pinang datang bertandang<br />

Aduhai dentang Singkawang<br />

Seribu kuil membakar dupa<br />

seribu sumpah dibakar neraka:<br />

bukankah ia terlalu tua?<br />

...<br />

hamparan jagung batang kerontang<br />

Tanah retak jalanan simpang<br />

Perawanku. Perawanku<br />

Ada kelamin menggantung di kaki renta<br />

Aduhai dara Singkawang,<br />

tataplah muka jadikan suka<br />

Abang menunggu di negeri surga.<br />

Contoh bagian lain yang sangat dekat dengan pola syair,<br />

bahkan dengan rima dan metrum yang sangat teratur (maaf,<br />

Hanna, di sini saya susun dengan pola syair tradisional):<br />

...<br />

Berlari girang kupu-kupu riang<br />

Burung di dahan menanti pulang<br />

Alangkah lapang langit Singkawang<br />

Ribuan amoi berkulit terang<br />

Siap dipinang menuju seberang<br />

....<br />

Dari contoh kutipan di atas kita lihat, dalam hal<br />

metrum, puisi esai Hanna jelas sama dengan pola metrum<br />

syair (atau memang mengikutinya) namun dilesapkan<br />

sedemikian rupa sebagai puisi bebas, sehingga penggunaan<br />

pola metrum syair itu terasa “modern”. Sebagaimana<br />

penggunaan rima, penggunaan metrum disebar di beberapa<br />

bagian puisi secara tidak teratur, dengan susunan larik yang<br />

tidak teratur pula. Ya, Hanna memang tidak mengambil<br />

dan tidak pula setia sepenuhnya pada bentuk syair (atau<br />

PUISI ESAI KEMUNGKINAN BARU PUISI INDONESIA<br />

195

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!