03.03.2015 Views

Puisi-Esai-Kemungkinan-Baru-Puisi-Indonesia-ebook

Puisi-Esai-Kemungkinan-Baru-Puisi-Indonesia-ebook

Puisi-Esai-Kemungkinan-Baru-Puisi-Indonesia-ebook

SHOW MORE
SHOW LESS

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

Di tengah situasi perpuisian <strong>Indonesia</strong> yang cenderung<br />

membayangkan bahwa pembacanya adalah sesama penyair<br />

(siapa pun penyair yang diandaikan itu), maka gerakan ini<br />

menjadi signifikan. Tidaklah bijaksana hanya membayangkan<br />

segelintir penyair saat seorang penyair menulis puisi di<br />

negeri berpenduduk 200 juta lebih dengan permasalahan<br />

sosial yang demikian banyak, bertubi-tubi, dan kadang<br />

karut-marut. Oleh sebab itu, adalah perlu untuk selalu<br />

mengingatkan diri sendiri bahwa seorang penyair <strong>Indonesia</strong><br />

menjadi bagian dari 200 juta penduduk <strong>Indonesia</strong> yang<br />

sebagian besar menderita dan tidak beruntung baik karena<br />

kesalahan mereka sendiri maupun terutama karena kedegilan<br />

elit politiknya yang cakrawala hidupnya tidak bisa lebih<br />

jauh dari syahwatnya sendiri, baik syahwat ekonomi, syahwat<br />

politik, maupun syahwat badani.<br />

Sudah berkali-kali di <strong>Indonesia</strong> terjadi bencana, baik<br />

bencana sosial (Kerusuhan Mei 1998, Kerusuhan Sambas,<br />

Kerusuhan Maluku, Kerusuhan Poso, Kerusuhan Mesuji, dan<br />

lain-lain) maupun bencana alam (Tsunami Flores dan Aceh,<br />

Gempa Jogya dan Sumatera Barat, Meletusnya Merapi, dan<br />

sebagainya). Sudah banyak pula sajak ditulis mengenainya.<br />

Namun, seberapa partikular semua itu ditulis dalam sajak,<br />

atau sajak-sajak itu masih berupa tanggapan bersifat umum?<br />

Partikularitas membuat masalah menjadi tidak mudah<br />

untuk disimpulkan sekaligus menguji kembali generalisasi<br />

bahkan stigma-stigma yang hidup di masyarakat selama ini.<br />

Atas gempa Yogya atau tsunami Aceh, misalnya, ada<br />

kecenderungan kita untuk terluka dan berduka atas bencana<br />

itu. Namun, sastra tidak cukup hanya berbekal airmata dan<br />

kalimat-kalimat keprihatinan. Hasilnya akan jauh berbeda<br />

PUISI ESAI KEMUNGKINAN BARU PUISI INDONESIA<br />

25

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!