22.11.2014 Views

Jataka Vol.I PDF - DhammaCitta

Jataka Vol.I PDF - DhammaCitta

Jataka Vol.I PDF - DhammaCitta

SHOW MORE
SHOW LESS

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

Suttapiṭaka Jātaka I<br />

memberikan satu ikan setiap hari untuk dijadikan kari bagi kami?”<br />

“Apa katamu ini, Tuan?” jawab mereka, “Ambil saja ikan yang<br />

Anda mau.” “Kami hanya membutuhkan ikan yang satu ini;<br />

berikanlah ia pada kami.” “Ikan itu adalah milikmu, Tuan.”<br />

Memegang ikan itu dengan kedua tangannya, Bodhisatta<br />

duduk di pinggir sungai dan berkata, “Teman, jika engkau tidak<br />

terlihat olehku hari ini, engkau telah menerima ajalmu. Di masa<br />

yang akan datang, janganlah menjadi budak nafsu lagi.” Dengan<br />

nasihat tersebut, ia melepaskan ikan itu ke dalam air, sementara<br />

ia sendiri kembali ke kota.<br />

____________________<br />

[212] Setelah uraian tersebut berakhir, Sang Guru<br />

membabarkan Dhamma kepada mereka. Pada akhir khotbah,<br />

bhikkhu yang (tadinya) menyesal tersebut mencapai tingkat<br />

kesucian Sotāpanna. Sang Guru juga mempertautkan dan<br />

menjelaskan tentang kelahiran tersebut dengan berkata, “Mantan<br />

istri itu adalah ikan betina tersebut, dan Saya sendiri adalah<br />

pendeta kerajaan.”<br />

[Catatan : Bandingkan dengan Jātaka No.216 dan No.297]<br />

No.35.<br />

VAṬṬAKA-JĀTAKA<br />

Suttapiṭaka Jātaka I<br />

“Dengan sayap yang belum bisa terbang,” dan<br />

seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika sedang<br />

dalam perjalanan melakukan pindapata melalui Magadha,<br />

mengenai padamnya kebakaran di sebuah hutan. Sekali waktu,<br />

Sang Guru melakukan perjalanan pindapata melewati Magadha<br />

di pagi hari, Beliau melakukan pindapata melalui sebuah dusun<br />

kecil di negeri tersebut. Sekembalinya dari tempat itu, setelah<br />

menyantap makanannya, Beliau pergi lagi bersama para<br />

bhikkhu. Pada saat itu, timbul kobaran api yang cukup besar.<br />

Terdapat sejumlah anggota Sanggha yang berada di depan<br />

maupun belakang Sang Guru saat api itu muncul, memancar<br />

jauh dan luas, hingga yang terlihat hanya lautan asap dan<br />

kobaran api. Saat itu, beberapa orang bhikkhu yang belum<br />

memiliki keyakinan dicengkeram oleh rasa takut terhadap<br />

kematian. “Mari kita membuat penangkal api,” seru mereka. “agar<br />

api tidak menjalar ke tempat yang telah kita bakar.”<br />

Pertimbangan itu membuat mereka bersiap-siap menyalakan api<br />

dengan batang-batang kayu yang mudah terbakar.<br />

Tetapi bhikkhu yang lain berkata, “Apa yang kalian<br />

lakukan? Kalian bertindak seakan tidak mengetahui tentang<br />

bulan yang berada di tengah langit, atau matahari terbit dengan<br />

ribuan sinarnya dari arah timur, atau laut yang merupakan<br />

kumpulan dari pantai, atau Gunung Sineru yang menjulang tinggi<br />

di depan mata, — Saat kalian melakukan perjalanan<br />

mendampingi Ia Yang Tiada Taranya di antara para dewa dan<br />

manusia, kalian tidak memandang Yang Tercerahkan Sempurna,<br />

namun berteriak ‘Mari kita nyalakan api!’ Kalian tidak mengetahui<br />

kekuatan dari seorang Buddha! Mari, kami akan membawa kalian<br />

199<br />

200

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!