22.11.2014 Views

Jataka Vol.I PDF - DhammaCitta

Jataka Vol.I PDF - DhammaCitta

Jataka Vol.I PDF - DhammaCitta

SHOW MORE
SHOW LESS

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

Suttapiṭaka Jātaka I<br />

Sekali waktu ketika Brahmadatta memerintah di Benares,<br />

ia menunjuk seorang menteri untuk menjadi kepala desa di<br />

sebuah desa di perbatasan, dan semua terjadi sama seperti<br />

kejadian dalam cerita di atas. Pada masa itu, Bodhisatta sedang<br />

melakukan perjalanan dagang mengelilingi desa-desa di<br />

perbatasan, [355] dan mengambil tempat tinggal di desa<br />

terdekat. Pada saat kepala desa tersebut membawa pulang<br />

rombongan raja di sore hari dengan iringan suara gendang,<br />

Bodhisatta berseru, “Penjahat ini, yang secara diam-diam<br />

menghasut para perampok untuk menjarah desa tersebut, telah<br />

menunggu hingga para perampok kembali ke hutan, baru<br />

kembali ke desa dengan iringan suara gendang, berlagak seperti<br />

tidak ada sesuatu buruk yang telah terjadi.” Setelah<br />

mengucapkan kata-kata tersebut, beliau mengucapkan syair<br />

berikut: —<br />

Ia memberikan kesempatan kepada para perampok<br />

untuk menyerang dan membunuh<br />

ternak-ternak, membakar rumah, menahan penduduk;<br />

Kemudian dengan iringan suara gendang, ia kembali ke<br />

rumah,<br />

— Bukan anak laki-laki lagi, anak laki-laki seperti itu telah<br />

meninggal 160 .<br />

160<br />

Menurut Kitab Komentar, seorang anak laki-laki yang kehilangan tata susila dan rasa<br />

malu, konsekuensinya ia tidak akan dianggap anak lagi, ibunya seperti tidak mempunyai<br />

anak laki-laki walaupun anaknya tersebut masih hidup.<br />

471<br />

Suttapiṭaka Jātaka I<br />

Dengan kata-kata bijak ini, Bodhisatta menghukum<br />

kepala desa tersebut. Tak lama kemudian, kejahatannya<br />

terungkap, dan penjahat tersebut dihukum oleh raja atas<br />

kejahatannya.<br />

___________________<br />

“Ini bukan pertama kalinya, Paduka,” kata Sang Guru, “ia<br />

menunjukkan watak yang demikian, ia juga memiliki watak yang<br />

sama di kehidupan lampau.” Setelah uraian-Nya berakhir, Sang<br />

Guru mempertautkan kelahiran tersebut dengan berkata, “Kepala<br />

desa pada saat ini juga merupakan kepala desa di masa itu, dan<br />

Saya sendiri adalah Orang bijaksana dan baik yang<br />

membacakan syair tersebut.”<br />

No.80.<br />

BHĪMASENA-JĀTAKA<br />

“Engkau menyombongkan keberanianmu,” dan<br />

seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di<br />

Jetawana, mengenai seorang bhikkhu pembual (cerewet).<br />

Menurut kisah yang disampaikan secara turun temurun, ia selalu<br />

berkumpul di sekitar bhikkhu dalam berbagai usia, memperdaya<br />

semua orang dengan bualan yang tidak benar akan silsilah<br />

kebangsawanannya. “Ah, Awuso,” katanya, “tidak ada keluarga<br />

semulia keluarga saya, tidak ada garis keturunan yang begitu<br />

tiada taranya. Saya adalah keturunan dari silsilah bangsawan<br />

472

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!