22.11.2014 Views

Jataka Vol.I PDF - DhammaCitta

Jataka Vol.I PDF - DhammaCitta

Jataka Vol.I PDF - DhammaCitta

SHOW MORE
SHOW LESS

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

Suttapiṭaka Jātaka I<br />

kesucian gadis tersebut, dan benar-benar tinggal selama satu<br />

hingga dua hari di kamar teratas, — bersembunyi saat pendeta<br />

itu berada di rumah, dan menikmati waktu berkumpul dengan<br />

nyonyanya saat pendeta meninggalkan tempat itu. Setelah satu<br />

hingga dua hari berlalu, gadis itu berkata kepada kekasihnya,<br />

“Tuan, kamu harus pergi sekarang.” “Baik, namun saya harus<br />

memukul brahmana itu terlebih dahulu.” “Baiklah,” jawab gadis<br />

itu, dan menyembunyikan penggoda tersebut. Saat brahmana itu<br />

datang lagi, ia berseru, “Oh, Suamiku, saya ingin menari, jika<br />

engkau mau memainkan kecapi untukku.” “Menarilah, Sayang,”<br />

kata pendeta itu, dan segera memainkan kecapi tersebut.<br />

“Namun saya malu jika engkau melihat. Biar saya tutup wajah<br />

tampanmu dengan sehelai kain terlebih dahulu, baru menari.”<br />

“Baiklah,” jawabnya, “jika engkau terlalu malu untuk menari.” Ia<br />

mengambil sehelai kain yang tebal dan mengikatnya pada wajah<br />

brahmana itu untuk menutupi matanya. Dengan mata tertutup,<br />

brahmana itu mulai memainkan kecapi. Setelah menari beberapa<br />

saat, ia berseru, “Suamiku, saya ingin memukul kepalamu<br />

sekali.” “Pukul saja,” jawab orang tua pikun yang tidak menaruh<br />

curiga tersebut. Maka gadis itu segera memberi tanda pada<br />

kekasih gelapnya; yang dengan perlahan berdiri di belakang<br />

brahmana tersebut [293] dan menghantam kepalanya. Karena<br />

kerasnya pukulan tersebut, mata brahmana tersebut seakanakan<br />

terlepas dari kepalanya, dan pada tempat tersebut, sebuah<br />

benjolan muncul. Dalam kesakitannya, ia meminta gadis itu untuk<br />

memegang tangannya; gadis itu meletakkan tangannya pada<br />

tangan brahmana tersebut. “Ah, tangan yang lembut,” katanya,<br />

“namun memukul dengan keras.”<br />

Suttapiṭaka Jātaka I<br />

Sehabis memukul brahmana itu, penggoda wanita<br />

tersebut segera bersembunyi. Setelah ia bersembunyi, gadis<br />

tersebut melepaskan ikatan mata brahmana itu, dan menggosok<br />

kepalanya yang memar dengan minyak. Saat brahmana itu pergi,<br />

penggoda itu diseludupkan keluar melalui keranjang bunga oleh<br />

wanita tua tersebut. Dengan cara itu ia dibawa keluar dari rumah<br />

tersebut. Penggoda itu segera menemui raja dan menceritakan<br />

semua petualangannya.<br />

Karena itu, saat kedatangan pendeta itu yang berikutnya,<br />

raja mengusulkan sebuah permainan dengan menggunakan<br />

dadu. Pendeta itu menyetujuinya, maka meja dadu dibawa<br />

keluar. Saat raja melemparkan dadu, ia melantunkan lagu<br />

lamanya, dan brahmana itu, — tidak mengetahui keburukan<br />

gadis tersebut — menambahkan kata ‘selalu kecuali gadis saya,’<br />

— namun ia kalah!<br />

Sang raja, yang mengetahui apa yang tidak diketahui<br />

oleh pendetanya itu, berkata, “Mengapa kecuali dia?<br />

Kesuciannya telah diberikan. Ah, impianmu mengambil seorang<br />

gadis sejak ia dilahirkan dan menempatkan tujuh lapis penjagaan<br />

padanya, membuat engkau merasa percaya kepadanya.<br />

Mengapa? Kamu tidak bisa percaya pada seorang wanita,<br />

bahkan jika engkau selalu menempatkannya di dalam dan selalu<br />

berjalan bersamanya. Tidak ada wanita yang setia pada satu<br />

orang pria saja. Mengenai gadismu, ia mengatakan ia ingin<br />

menari dan menutup matamu saat engkau memainkan kecapi<br />

untuknya; ia membiarkan kekasih gelapnya memukul kepalamu,<br />

kemudian menyelundupkannya keluar dari rumah. Dengan<br />

349<br />

350

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!