Jataka Vol.I PDF - DhammaCitta
Jataka Vol.I PDF - DhammaCitta
Jataka Vol.I PDF - DhammaCitta
You also want an ePaper? Increase the reach of your titles
YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.
Suttapiṭaka Jātaka I<br />
yang tingkatannya lebih rendah dan lebih tinggi, dengan<br />
ketekunannya ia memperoleh pencerahan spiritual dan mencapai<br />
tingkat kesucian Arahat. Kemudian ia menjumpai Sang Guru dan<br />
berkata, “Bhante, dengan bergabung dalam Sanggha, saya telah<br />
mencapai phala tertinggi,” — dengan cara demikianlah ia<br />
menyampaikan bahwa ia telah mencapai tingkat kesucian<br />
Arahat. Mendengar hal tersebut, para bhikkhu berkumpul di Balai<br />
Kebenaran, membicarakan kebaikan dari pendeta kerajaan yang<br />
menguji prestasinya sendiri dalam hal kebaikan dan setelah<br />
meninggalkan raja akhirnya mencapai tingkat kesucian Arahat.<br />
Saat Sang Guru masuk ke dalam Balai Kebenaran, Ia bertanya<br />
apa yang sedang dibicarakan oleh para bhikkhu, dan mereka pun<br />
memberi tahu Beliau. “Merupakan suatu teladan, para Bhikkhu,”<br />
kata Beliau, “tindakan brahmana ini menguji reputasinya dalam<br />
hal kebaikan, dan setelah meninggalkan keduniawian mencapai<br />
nibbana dengan usahanya sendiri. Hal demikian juga dilakukan<br />
oleh ia yang bijaksana dan penuh kebaikan di kehidupan yang<br />
lampau.” Setelah mengatakan hal tersebut, Beliau menceritakan<br />
kisah kelahiran lampau ini.<br />
____________________<br />
Suatu ketika pada saat Brahmadatta memerintah di<br />
Benares, Bodhisatta adalah pendeta kerajaan, — seseorang<br />
yang hidup dalam kemurahan hati dan perbuatan baik lainnya,<br />
yang pikirannya tertuju pada kebaikan, selalu menjaga lima<br />
latihan moralitas dengan sempurna. Raja pun menghormatinya<br />
melebihi brahmana lainnya; dan semuanya berlangsung seperti<br />
pada kisah sebelumnya.<br />
Suttapiṭaka Jātaka I<br />
Namun, saat Bodhisatta dibawa dalam keadaan terikat<br />
ke hadapan raja, ia melewati suatu tempat dimana beberapa<br />
pawang ular yang sedang mempertunjukkan seekor ular, yang<br />
mereka pegang di bagian ekor dan lehernya, kemudian mereka<br />
belitkan di leher mereka sendiri. Melihat hal tersebut Bodhisatta<br />
memohon mereka untuk berhenti, karena ular tersebut bisa saja<br />
menggigit mereka dan menyebabkan mereka menemui ajalnya.<br />
“Brahmana,” jawab pawang ular tersebut, “ini adalah seekor<br />
kobra yang baik dan jinak; ia tidak jahat seperti dirimu, yang<br />
karena kejahatan dan perbuatan yang tidak benar, diseret ke<br />
penjara.”<br />
Bodhisatta berpikir, “Bahkan ular kobra, jika mereka tidak<br />
menggigit atau melukai, sudah disebut ‘baik’. Betapa banyak<br />
yang harus diuji jika hal ini berkenaan dengan manusia!<br />
Sesungguhnya hanya kebaikan yang merupakan hal terbaik di<br />
antara semua hal di dunia; tiada [371] hal lain yang dapat<br />
menandinginya.” Kemudian ia dihadapkan pada raja. “Ada apa<br />
ini, Teman?” tanya raja. “Ia adalah seorang pencuri yang telah<br />
merampok hartamu.” “Bawalah ia untuk dihukum mati.” “Paduka,”<br />
kata brahmana tersebut, “saya bukan pencuri.” “Kalau begitu,<br />
mengapa engkau mengambil uang tersebut?” Bodhisatta<br />
menjawab dengan saksama seperti pada kisah sebelumnya,<br />
diakhiri dengan kata-kata berikut ini : — “Demikianlah saya tiba<br />
pada kesimpulan bahwa kebaikan adalah hal yang terbaik dan<br />
terunggul di dunia ini. Namun, seperti yang terjadi barusan,<br />
seekor kobra, hanya karena tidak menggigit atau melukai, tidak<br />
lebih, dengan begitu mudahnya telah disebut ‘baik’, dengan<br />
alasan ini juga, hanya kebaikan yang merupakan hal terbaik dan<br />
499<br />
500