22.11.2014 Views

Jataka Vol.I PDF - DhammaCitta

Jataka Vol.I PDF - DhammaCitta

Jataka Vol.I PDF - DhammaCitta

SHOW MORE
SHOW LESS

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

Suttapiṭaka Jātaka I<br />

minum. Suatu hari mereka bertengkar. Pemilik saringan tidak<br />

mau meminjamkan saringan itu kepada temannya, ia menyaring<br />

dan meminum sendiri air yang telah disaringnya itu.<br />

Karena temannya tidak mau memberikan saringan itu,<br />

dan karena ia tidak mampu menahan rasa haus yang<br />

menyerangnya, ia minum air tanpa disaring terlebih dahulu.<br />

Akhirnya tibalah mereka di Jetawana, dan segera memberikan<br />

salam dengan penuh penghormatan kepada Sang Guru sebelum<br />

duduk. Setelah menyapa mereka dengan ramah, Beliau bertanya<br />

dari manakah mereka berdua datang.<br />

“Bhante,” jawab mereka, “kami menetap di sebuah dusun<br />

kecil di Negeri Kosala sebelum kami datang untuk mengunjungi<br />

Anda.” “Apakah kalian berdua masih bersahabat seperti saat<br />

kalian memulai perjalanan?” Bhikkhu yang tidak membawa<br />

saringan berkata, “Bhante, kami bertengkar di tengah perjalanan<br />

dan ia tidak mau meminjamkan saringannya kepada saya.”<br />

Bhikkhu yang satunya lagi berkata, “Bhante, ia tidak menyaring<br />

air minumnya, namun – dengan sadar – ia minum air beserta<br />

semua makhluk hidup yang terkandung di dalamnya.” “Benarkah<br />

laporan itu, Bhikkhu, bahwa kamu dengan sadar minum air<br />

beserta semua makhluk hidup yang terkandung di dalamnya?”<br />

“Benar, Bhante, saya minum air yang belum disaring,” jawab<br />

bhikkhu itu. “Bhikkhu, ia yang bijak dan penuh kebaikan di<br />

kehidupan yang lampau, saat terbang menjauh di sepanjang<br />

tempat yang tinggi ketika harus menyerahkan kekuasaan atas<br />

kota para dewa, pikiran akan adanya cemoohan karena<br />

membunuh makhluk hidup demi menyelamatkan kekuasaan<br />

mereka, membuat mereka lebih baik memutar kereta perang,<br />

175<br />

Suttapiṭaka Jātaka I<br />

mengabaikan kejayaan mereka dengan tujuan menyelamatkan<br />

nyawa para garuda 67 muda.” Setelah mengucapkan kata-kata<br />

tersebut, Beliau menceritakan kisah kelahiran lampau ini.<br />

____________________<br />

[199] Pada suatu waktu ada seorang Raja Magadha<br />

yang memerintah di Rājagaha, Negeri Magadha. Sebagaimana<br />

ia yang saat ini merupakan Sakka, lahir pada kelahiran<br />

sebelumnya di sebuah dusun kecil di Macala, Negeri Magadha.<br />

Itu adalah dusun kecil yang sama dalam setiap kelahirannya.<br />

Masa itu, Bodhisatta terlahir sebagai seorang bangsawan muda.<br />

Ketika saat pemberian nama tiba, ia diberi nama ‘Pemuda<br />

Magha’, setelah dewasa ia dikenal sebagai ‘Brahmana Muda<br />

Magha’. Orang tuanya memilihkan seorang istri untuknya, yang<br />

berasal dari kasta yang sama dengan mereka; dan dia, dengan<br />

sebuah keluarga berupa anak lelaki dan perempuan, yang<br />

tumbuh besar bersamanya, unggul dalam berdana dan selalu<br />

menjaga lima latihan moralitas.<br />

Desa itu hanya ditempati oleh tiga puluh keluarga. Suatu<br />

hari, para lelaki berdiri di tengah desa mengadakan pertemuan<br />

antar penduduk desa. Setelah membersihkan debu di sekitar<br />

tempatnya berdiri, Bodhisatta berdiri dengan nyamannya di sana,<br />

namun seseorang datang dan merebut tempat berdirinya. Ia<br />

membersihkan tempat yang lain agar dapat berdiri dengan<br />

nyaman, — hanya untuk direbut oleh orang lain sebagaimana<br />

kejadian sebelumnya. Ia mengulangi hal itu lagi dan lagi, hingga<br />

67<br />

Para garuda (garuḷa / supaṇṇa) adalah makhluk bersayap yang memiliki kemampuan<br />

supranatural yang cukup baik; merupakan musuh bebuyutan dari para nāga yang memegang<br />

kekuasaan di air. Bandingkan (misalnya) Jātaka No.154.<br />

176

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!