22.11.2014 Views

Jataka Vol.I PDF - DhammaCitta

Jataka Vol.I PDF - DhammaCitta

Jataka Vol.I PDF - DhammaCitta

SHOW MORE
SHOW LESS

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

Suttapiṭaka Jātaka I<br />

kebaikanmu kepada semua makhluk hidup.” Maka lelaki itu mulai<br />

mengumpulkan tawaran tersebut. Ada yang memberikan dua kali<br />

lipat dari yang lain, ada yang memberikan empat kali lipat, yang<br />

lain delapan kali lipat, dan seterusnya hingga sembilan puluh juta<br />

telah terkumpul.<br />

Mengucapkan terima kasih atas keramahan itu, Sang<br />

Guru kembali ke wihara dan setelah memberikan petunjuk<br />

kepada para bhikkhu dan menanamkan ajaran-Nya yang mulia<br />

pada mereka, Beliau masuk ke dalam kamarnya yang wangi.<br />

Di sore harinya, raja mengundang orang miskin itu<br />

menghadap dan mengangkatnya menjadi Bendaharawan.<br />

Berkumpul di Balai Kebenaran, para bhikkhu<br />

membicarakan bagaimana Sang Guru, tidak menganggap remeh<br />

kue dari kulit padi yang diberikan orang miskin itu, telah<br />

menyantapnya seakan-akan itu adalah makanan para dewa, dan<br />

bagaimana lelaki miskin itu menjadi kaya [423] dan dijadikan<br />

Bendaharawan sebagai keberuntungan terbesarnya. Saat itu<br />

Sang Guru masuk ke dalam balai tersebut dan mendengar apa<br />

yang sedang mereka bicarakan, Beliau berkata, “Para Bhikkhu,<br />

ini bukan pertama kalinya saya tidak merasa terhina untuk<br />

makan kue dari kulit padi yang dipersembahkan oleh lelaki miskin<br />

itu. Saya melakukan hal yang sama saat saya merupakan dewa<br />

pohon, kemudian dengan cara itu juga menjadi Bendaharawan.”<br />

Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, Beliau menceritakan<br />

kisah kelahiran lampau ini.<br />

____________________<br />

Sekali waktu ketika Brahmadatta memerintah di Benares,<br />

Bodhisatta adalah seorang dewa pohon yang menetap di pohon<br />

587<br />

Suttapiṭaka Jātaka I<br />

eraṇḍa 193 . Dan para penduduk di masa itu sangat percaya pada<br />

takhayul mengenai para dewa. Suatu perayaan akan<br />

dilangsungkan dan para penduduk mempersembahkan korban<br />

kepada dewa pohon yang mereka hormati. Melihat hal tersebut,<br />

seorang lelaki miskin juga menunjukkan pemujaan pada pohon<br />

eraṇḍa. Semua orang datang dengan membawa untaian bunga,<br />

wewangian dan kue-kue, namun lelaki miskin itu hanya<br />

mempunyai kue yang terbuat dari tepung sekam dan air dengan<br />

tempurung kelapa sebagai wadahnya untuk dipersembahkan<br />

kepada pohon ini. Berdiri di depan pohon, ia berpikir, “Dewa<br />

pohon terbiasa menyantap makanan surgawi, dan tidak akan<br />

makan kue yang terbuat dari tepung sekam ini. Kalau begitu,<br />

mengapa saya harus kehilangannya begitu saja? Akan saya<br />

makan sendiri saja.” Maka ia berputar untuk meninggalkan<br />

tempat itu, ketika Bodhisatta berseru dari cabang pohon itu,<br />

“Orang yang baik, jika engkau adalah penguasa besar, engkau<br />

akan membawakan saya makanan pilihan; namun engkau<br />

adalah orang miskin, apa yang harus saya makan jika bukan kue<br />

itu? Jangan rampas bagian untuk saya.” Dan ia mengucapkan<br />

syair berikut ini : —<br />

Sebagai imbalan bagi pemujanya,<br />

seorang dewa akan makan (persembahannya).<br />

Bawakan saya kue itu, jangan rampas bagian saya.<br />

Kemudian lelaki itu berputar kembali, melihat Bodhisatta,<br />

dan memberikan persembahannya. Bodhisatta menyantap<br />

193<br />

Terjemahan dari teks Inggris, “The castor oil plant”.<br />

588

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!