Jataka Vol.I PDF - DhammaCitta
Jataka Vol.I PDF - DhammaCitta
Jataka Vol.I PDF - DhammaCitta
Create successful ePaper yourself
Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.
Suttapiṭaka Jātaka I<br />
Tukang kayu itu berkata, “Tuan-tuan, apa yang Anda<br />
katakan? Bahkan sampai ke alam brahma, tidak ada tempat<br />
dimana tidak ada wanita. Ambillah menara itu dan pekerjaan kita<br />
akan segera selesai.”<br />
Setelah mendapat persetujuan, mereka mengambil kayu<br />
menara itu dan menyelesaikan balai tersebut. Kursi-kursi<br />
diletakkan dan kendi-kendi air ditempatkan di dalamnya, di sana<br />
juga selalu tersedia nasi yang masih hangat. Mereka<br />
membangun sebuah dinding dengan sebuah pintu gerbang di<br />
sekeliling balai tersebut, jarak antar dinding bagian dalamnya<br />
ditaburi dengan pasir dan bagian luarnya ditanami dengan<br />
sebaris pohon lontar kipas. Cittā membangun sebuah taman<br />
peristirahatan di tempat tersebut, tidak ada tanaman bunga dan<br />
buah yang tidak terdapat disana, Nandā juga, ia menggali<br />
sebuah tempat penampungan air di tempat yang sama, menutupi<br />
permukaannya dengan lima jenis bunga teratai, hingga menjadi<br />
begitu indah dipandang mata. Hanya Sujā yang tidak melakukan<br />
apa-apa.<br />
Bodhisatta menetapkan tujuh ketentuan ini;<br />
membahagiakan ibu, membahagiakan ayah, menghormati<br />
saudara (orang) yang lebih tua, berbicara jujur, [202]<br />
menghindari kata-kata kasar, menjauhkan diri dari kata-kata<br />
fitnah, dan menghindari sifat kikir : —<br />
Barang siapa yang menyokong orang tuanya, orangorang<br />
yang pantas dihormati,<br />
yang ramah, mengucapkan kata-kata yang bersahabat,<br />
tidak memfitnah,<br />
181<br />
Suttapiṭaka Jātaka I<br />
Tidak kasar, jujur, pengendali – bukan budak –<br />
kemarahan,<br />
—Ia yang akan terlahir di Alam Tiga Puluh Tiga Dewa 68<br />
pantas disebut sebagai Ia Yang Penuh Kebajikan.<br />
Demikianlah kata-kata pujian yang ditanamkan olehnya.<br />
Saat ajalnya tiba, ia meninggal dan terlahir kembali di Alam Tiga<br />
Puluh Tiga Dewa sebagai Sakka, raja para dewa; temantemannya<br />
juga terlahir di alam yang sama.<br />
Pada masa itu, para asura juga berdiam di Alam Tiga<br />
Puluh Tiga Dewa. Sakka, raja para dewa berkata, “Apa baiknya<br />
bagi kita dengan kerajaan yang juga ditempati oleh makhlukmakhluk<br />
lain?” Ia membuat para asura minum minuman keras<br />
para dewa, dan di saat mereka mabuk, ia membuat mereka<br />
terlempar ke kaki Pegunungan Sineru yang curam. Mereka<br />
terjatuh ke ‘alam asura’, sebagaimana alam itu dinamakan —<br />
wilayah paling bawah dari Pegunungan Sineru, yang setingkat<br />
dengan Alam Tiga Puluh Tiga Dewa. Di sana, terdapat sebatang<br />
pohon, mirip dengan Pohon Pāricchattaka, yang bisa hidup<br />
hingga beribu-ribu tahun lamanya; pohon itu adalah Pohon<br />
Cittapāṭali. Mekarnya bunga ini membuat mereka sadar, bahwa<br />
tempat itu bukanlah alam dewa, karena di sana yang mekar<br />
seharusnya adalah Pohon Pāricchattaka. Mereka berteriak, “Si<br />
tua bangka Sakka telah membuat kita mabuk dan melempar kita<br />
68<br />
Salah satu Devaloka, atau alam dewa, dari susunan alam yang ada dalam agama Buddha,<br />
yakni Tāvatiṁsa-bhavanaṁ, atau ‘Alam Tiga Puluh Tiga Dewa’, disebut demikian karena<br />
dihuni oleh tiga puluh tiga dewa yang dipimpin oleh Sakka, yang disebut sebagai Indra<br />
sebelum munculnya agama Buddha. Setiap sistem alam semesta, harus kita ketahui,<br />
memiliki sorang Sakka tersendiri, seperti yang dinyatakan dibagian setelah ini.<br />
182