22.11.2014 Views

Jataka Vol.I PDF - DhammaCitta

Jataka Vol.I PDF - DhammaCitta

Jataka Vol.I PDF - DhammaCitta

SHOW MORE
SHOW LESS

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

Suttapiṭaka Jātaka I<br />

Demikianlah ajaran Bodhisatta atas hal tersebut. Setelah<br />

demikian menjalani hidupnya pada masa itu, ia meninggal dunia<br />

untuk terlahir kembali di alam yang sesuai dengan hasil<br />

perbuatannya.<br />

___________________<br />

Setelah uraian tersebut berakhir, Sang Guru<br />

menjelaskan kelahiran tersebut sebagai berikut : — “Bhikkhu ini<br />

adalah ayam jantan di masa itu, yang tidak mengetahui kapan<br />

waktu (yang tepat) untuk berkokok; Para siswa saya adalah para<br />

brahmana muda itu; dan Saya adalah guru mereka.”<br />

No.120.<br />

[437] BANDHANAMOKKHA-JĀTAKA<br />

“Ketika orang bodoh berbicara,” dan seterusnya. Kisah<br />

ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Jetawana,<br />

mengenai seorang brahmana wanita bernama Ciñca, yang<br />

kisahnya akan diceritakan di Buku Kedua Belas dalam<br />

Mahāpaduma-Jātaka 199 . Pada kesempatan itu Sang Guru<br />

berkata, “Para Bhikkhu, ini bukan pertama kalinya Ciñca<br />

melempar tuduhan palsu kepada saya. Ia juga melakukan hal<br />

yang sama di masa lampau.” Setelah mengucapkan kata-kata<br />

tersebut, Beliau menceritakan kisah kelahiran lampau ini.<br />

____________________<br />

199<br />

No.472. Bandingkan catatan di hal.323.<br />

611<br />

Suttapiṭaka Jātaka I<br />

Sekali waktu ketika Brahmadatta memerintah di Benares,<br />

Bodhisatta terlahir dalam keluarga pendeta, dan setelah ayahnya<br />

meninggal, ia menduduki jabatan pendeta kerajaan.<br />

Pada masa itu, raja berjanji untuk mengabulkan apa pun<br />

permintaan yang diminta oleh ratu padanya, dan ratu berkata, —<br />

“Permintaan yang saya minta sangat mudah; mulai saat ini<br />

engkau tidak boleh menatap wanita lain dengan tatapan penuh<br />

cinta.” Awalnya raja menolak, namun bosan pada desakan yang<br />

tidak berhenti itu, akhirnya raja menyerah. Sejak saat itu, ia tidak<br />

pernah melemparkan tatapan yang penuh cinta lagi kepada<br />

siapapun dari keenam belas ribu gadis penarinya.<br />

Suatu waktu, kerusuhan timbul di daerah pinggiran<br />

kerajaan, dan setelah dua atau tiga kali bertempur dengan para<br />

perampok, pasukan yang berada di sana mengirim sepucuk surat<br />

kepada raja yang menyatakan bahwa mereka tidak mampu<br />

menyelesaikan masalah tersebut. Raja dipenuhi oleh keinginan<br />

untuk pergi sendiri ke sana dan mulai mengumpulkan rombongan<br />

besar. Ia berkata kepada istrinya, “Istriku, saya akan pergi ke<br />

garis depan, dimana perang akan berkecamuk, yang akan<br />

berakhir dengan kemenangan atau kekalahan. Medan perang<br />

bukanlah tempat untuk wanita, engkau harus tinggal di sini.”<br />

“Saya tidak akan bisa (bertahan) jika engkau pergi,<br />

Tuanku,” kata ratu. Namun melihat raja tetap teguh pada<br />

keputusannya, ia menurutinya dengan permintaan berikut ini<br />

sebagai gantinya, — “Pada akhir setiap yojana, kirimkanlah<br />

seorang pembawa pesan (kurir) untuk mengetahui bagaimana<br />

perkembangan keadaanku.” Raja berjanji untuk melakukan hal<br />

tersebut. Kemudian raja berderap keluar bersama<br />

612

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!