Jataka Vol.I PDF - DhammaCitta
Jataka Vol.I PDF - DhammaCitta
Jataka Vol.I PDF - DhammaCitta
Create successful ePaper yourself
Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.
Suttapiṭaka Jātaka I<br />
dewa pohon.” Atas permohonan Anāthapiṇḍika, Beliau<br />
menceritakan kisah kelahiran lampau ini.<br />
____________________<br />
Sekali waktu ketika Brahmadatta memerintah di Benares,<br />
Bodhisatta terlahir sebagai seorang dewa (pohon) di taman<br />
peristirahatan raja dan mendiami serumpun rumput kusa. Di<br />
tempat yang sama, di dekat tempat duduk raja, terdapat sebuah<br />
Pohon Permohonan yang indah (disebut juga sebagai Mukkhaka)<br />
dengan batang yang lurus dan cabang yang melebar, yang<br />
mendapatkan banyak persembahan dari raja. Di sini, tinggallah<br />
makhluk yang dulunya adalah raja dewa yang hebat dan telah<br />
terlahir kembali sebagai dewa pohon. Dan Bodhisatta berteman<br />
baik dengan dewa pohon ini.<br />
Di tempat tinggal raja, hanya terdapat satu pilar yang<br />
menyangga atap dan pilar itu mulai goyah. Diberitahu mengenai<br />
hal tersebut, raja mengirim tukang kayu dan meminta mereka<br />
untuk menempatkan sebuah pilar yang kuat dan membuat<br />
tempat itu aman. Maka para tukang kayu mencari [442] sebatang<br />
pohon yang bisa digunakan namun tidak dapat menemukannya<br />
dimanapun juga. Kembali ke taman peristirahatan, mereka<br />
melihat Mukkhaka, kemudian mereka kembali menghadap raja.<br />
“Baik,” kata raja, “apakah kalian telah menemukan pohon yang<br />
sesuai?” “Ya, Paduka,” kata mereka; “namun kami tidak berani<br />
untuk melakukannya.” “Mengapa?” tanya raja. Mereka<br />
menceritakan bagaimana mereka telah mencari kemana-mana<br />
pohon seperti itu, namun tidak berani untuk menebang pohon<br />
suci itu. “Pergi dan tebanglah pohon tersebut,” kata raja, “dan<br />
buat atap itu aman. Saya akan mencari pohon yang lain.”<br />
Suttapiṭaka Jātaka I<br />
Maka mereka pergi, membawakan korban ke taman dan<br />
mempersembahkannya kepada pohon tersebut, berkata di antara<br />
mereka sendiri bahwa mereka akan datang dan menebangnya<br />
besok. Mendengar perkataan mereka, dewa pohon itu<br />
mengetahui bahwa rumahnya akan dihancurkan keesokan<br />
harinya, meledak dalam tangisan sementara ia mendekap anakanaknya<br />
di dadanya, tidak mengetahui harus pergi kemana<br />
bersama anak-anaknya. Teman-temannya, para dewa pohon di<br />
hutan itu, datang dan menanyakan apa yang telah terjadi. Namun<br />
tidak satu pun yang mempunyai cara untuk menahan para<br />
tukang kayu itu, semua dewa pohon yang lain merangkulnya<br />
sambil menangis dan meratap. Pada saat itu, Bodhisatta datang<br />
mengunjunginya, dan mengetahui hal tersebut. “Jangan<br />
khawatir,” kata Bodhisatta menenangkannya, “saya akan<br />
menjaga agar pohon ini tidak ditebang. Tunggu dan lihat apa<br />
yang akan saya lakukan ketika para tukang kayu datang besok.”<br />
Keesokan harinya saat orang-orang itu datang,<br />
Bodhisatta, yang mengambil bentuk sebagai seekor bunglon,<br />
berada di pohon sebelum mereka tiba, dan masuk dari akarnya,<br />
merangkak naik dan keluar di antara cabang-cabangnya,<br />
membuat pohon itu dipenuhi oleh lubang. Kemudian Bodhisatta<br />
berhenti di cabang-cabangnya dimana kepalanya bergerak ke<br />
sana kemari dengan cepat. Tibalah para tukang kayu itu; begitu<br />
melihat bunglon tersebut, pemimpin mereka memukul pohon<br />
tersebut dengan tangan, dan berseru bahwa pohon itu telah<br />
rusak, dan mereka tidak melihat dengan teliti sebelum membuat<br />
permohonan sehari sebelumnya. Ia pergi dengan penuh celaan<br />
terhadap pohon besar itu. Demikianlah cara Bodhisatta<br />
619<br />
620