22.11.2014 Views

Jataka Vol.I PDF - DhammaCitta

Jataka Vol.I PDF - DhammaCitta

Jataka Vol.I PDF - DhammaCitta

SHOW MORE
SHOW LESS

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

Suttapiṭaka Jātaka I<br />

genderang yang menandakan pelaksanaan hukuman mati,<br />

kemudian dipasung hidup-hidup. Penderitaannya sangat hebat,<br />

dan seakan untuk menambahnya, gagak-gagak hinggap di<br />

kepalanya dan mematuk matanya dengan paruh mereka yang<br />

setajam pisau. Walaupun begitu, tidak peduli pada rasa sakitnya,<br />

ia memikirkan istrinya, lelaki ini menggumam sendiri, “Aduh, saya<br />

tidak bisa pergi ke perayaan bersamamu yang memakai baju<br />

bunga kusumba, dengan tanganmu merangkul di leherku.”<br />

Setelah berkata demikian, ia mengucapkan syair berikut ini:—<br />

Saya tidak menanggapi rasa sakit ini,<br />

dipasung di sini; oleh gagak, saya dicabik.<br />

Tetapi hatiku hanya merasa sakit akan hal ini,<br />

bahwa istri saya tidak akan merayakan liburan<br />

dengan memakai pakaian celupan berwarna merah.<br />

Saat bergumam demikian tentang istrinya, ia meninggal<br />

dunia dan terlahir kembali di neraka.<br />

____________________<br />

Setelah uraian-Nya berakhir, Sang Guru menjelaskan<br />

kelahiran tersebut dengan berkata, “Suami istri ini adalah suami<br />

istri di masa itu, dan Saya sendiri adalah dewa angin yang<br />

membuat cerita mereka dikenal.”<br />

Suttapiṭaka Jātaka I<br />

No.148.<br />

[501] SIGĀLA-JĀTAKA<br />

“Satu kali tergigit, dua kali malu,” dan seterusnya. Kisah<br />

ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Jetawana,<br />

tentang pengendalian kotoran batin (kilesa).<br />

Diberitahukan bahwa lima ratus orang kaya yang<br />

bersahabat, putra dari para saudagar di Sawatthi, setelah<br />

mendengarkan ajaran Sang Guru, memutuskan untuk<br />

menyerahkan hidup mereka pada Dhamma. Setelah bergabung<br />

dalam Sanggha mereka tinggal di Jetawana, tempat dimana<br />

tanahnya ditutupi oleh Anāthapiṇḍika dengan koin emas<br />

sekeping demi sekeping 227 .<br />

Pada suatu malam, pikiran penuh kilesa menguasai<br />

mereka, dan, dalam kebingungannya, mereka kembali menyerah<br />

pada kilesa yang telah mereka kendalikan. Pada saat itu, Sang<br />

Guru sedang memindai untuk melihat bagaimana gelagat kilesa<br />

yang masih melekat pada para bhikkhu di Jetawana, dan<br />

membaca pikiran mereka, merasakan bahwa kilesa telah muncul<br />

kembali di dalam diri mereka. Bagaikan seorang ibu yang<br />

menjaga anak tunggalnya, atau seorang lelaki bermata satu yang<br />

berhati-hati dengan matanya yang tinggal satu, demikianlah<br />

Sang Guru menjaga para siswa-Nya;— baik pagi maupun<br />

malam, kapan saja ketika kilesa mereka bergejolak, Beliau tidak<br />

akan membiarkan kesetiaan siswanya diambil alih, namun di saat<br />

227<br />

Atau ‘ditutupi dengan uang.’ Lihat Vinaya, Cullav.vi.4.9, diterjemahkan dalam S.B.E.,<br />

vol.xx, hal.188. bandingkan juga dengan Jātaka (teks) I,92.<br />

715<br />

716

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!