22.11.2014 Views

Jataka Vol.I PDF - DhammaCitta

Jataka Vol.I PDF - DhammaCitta

Jataka Vol.I PDF - DhammaCitta

SHOW MORE
SHOW LESS

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

Suttapiṭaka Jātaka I<br />

dari surga, yang berhubungan dengan Buku Ketiga Belas, dalam<br />

Sarabhamiga-Jātaka 63 .<br />

Setelah menunjukkan keajaiban ganda, dan telah<br />

menetap di surga, Buddha Yang Maha Tahu turun ke Kota<br />

Saṁkassa, di saat perayaan Pavāranā 64 agung, kemudian Beliau<br />

bersama sejumlah pengiringnya pergi ke Jetawana.<br />

Saat berkumpul bersama di Balai Kebenaran, sambil<br />

duduk, para bhikkhu memuji kebajikan Sang Guru, dengan<br />

berkata, “Awuso, Sang Buddha tiada taranya, tidak ada yang<br />

mampu menahan palang yang ditahan oleh Sang Buddha.<br />

Walaupun keenam guru begitu sering mengatakan bahwa<br />

mereka, hanya mereka, yang bisa mempertunjukkan keajaiban,<br />

namun tidak ada satu keajiban pun yang pernah mereka<br />

tunjukkan. Oh, betapa tiada taranya Guru kita!”<br />

Saat itu, Sang Guru masuk ke dalam balai tersebut dan<br />

menanyakan topik pembicaraan dalam pertemuan tersebut [194],<br />

Sang Guru mendapat penjelasan bahwa topik mereka tak lain<br />

adalah mengenai kebajikan Beliau. “Para Bhikkhu,” kata Sang<br />

Guru, “siapa yang mampu menahan palang yang ditahan oleh-<br />

Ku? Bahkan di masa lalu, ketika saya hidup sebagai hewan, saya<br />

tidak tertandingi.” Setelah mengatakan hal tersebut, Beliau<br />

menceritakan kisah kelahiran lampau ini.<br />

____________________<br />

Sekali waktu ketika Brahmadatta memerintah di Benares,<br />

Bodhisatta terlahir sebagai seekor sapi jantan. Saat masih<br />

berupa anak sapi, pemiliknya yang tinggal bersama seorang<br />

63<br />

No.483.<br />

64<br />

Perayaan di akhir musim hujan (Mahavagga IV,1.)<br />

167<br />

Suttapiṭaka Jātaka I<br />

wanita tua, menyerahkan sapi itu sebagai penyelesaian terhadap<br />

perhitungan mereka. Wanita itu membesarkannya seperti<br />

anaknya sendiri, memberikan ia bubur beras dan nasi serta<br />

makanan yang enak lainnya. Ia dikenal sebagai Ayyikākāḷaka (Si<br />

Hitam Milik Nenek). Setelah dewasa, ia selalu berkeliaran<br />

bersama kawanan ternak lainnya dari desa tersebut, dan<br />

warnanya hitam legam. Anak-anak dari desa itu selalu<br />

memegang tanduk dan telinga serta melompat ke punggungnya<br />

untuk menungganginya. Atau mereka akan menarik ekornya<br />

untuk bermain-main, kemudian memanjat ke punggungnya.<br />

Suatu hari, ia berpikir, “Ibuku sangat miskin; ia telah<br />

membesarkanku dengan segenap usahanya, seakan-akan saya<br />

adalah anak kandungnya sendiri. Bagaimana jika saya<br />

mendapatkan sedikit uang untuk meringankan penderitaannya?”<br />

Sejak saat itu, ia selalu mencari pekerjaan. Suatu hari, seorang<br />

saudagar muda yang merupakan pemilik gerobak yang datang<br />

bersama lima ratus buah keretanya, melewati dasar sungai yang<br />

sangat kasar, sehingga sapi-sapinya tidak dapat menarik keretakereta<br />

itu melewati tempat tersebut. Walaupun ia telah<br />

mengikatkan kelima ratus pasang sapinya membentuk kelompok<br />

besar, mereka masih tidak dapat menarik satu kereta pun untuk<br />

menyeberangi sungai tersebut. Sementara itu, Bodhisatta<br />

sedang bermain bersama kawanan ternak lainnya di sekitar<br />

tempat itu. Saudagar muda yang terbiasa menilai ternak,<br />

mengamati kawanan ternak itu untuk melihat apakah di antara<br />

mereka ada sapi keturunan murni yang dapat menarik keretanya<br />

menyeberangi sungai. Ketika melihat Bodhisatta, ia merasa yakin<br />

sapi itu pasti mampu; dan untuk mengetahui siapa pemilik sapi<br />

168

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!