Jataka Vol.I PDF - DhammaCitta
Jataka Vol.I PDF - DhammaCitta
Jataka Vol.I PDF - DhammaCitta
You also want an ePaper? Increase the reach of your titles
YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.
Suttapiṭaka Jātaka I<br />
“Benar, Upasaka, dengan melindungi dirinya sendiri,<br />
seseorang juga berarti telah melindungi orang lain; dengan<br />
melindungi orang lain, juga berarti ia telah melindungi dirinya<br />
sendiri.”<br />
“Oh, betapa indahnya penyampaian ini, Bhante, yang<br />
disampaikan oleh Bhagawan. Saat saya melakukan perjalanan<br />
bersama seorang pemimpin karavan, saya memutuskan untuk<br />
menjaga diri sendiri dengan mondar-mandir di kaki pohon, dan<br />
dengan melakukan hal tersebut, saya telah melindungi seluruh<br />
karavan itu.”<br />
Sang Guru berkata, “Upasaka, pada kehidupan yang<br />
lampau, mereka yang bijaksana dan baik juga melindungi orang<br />
lain saat melindungi diri sendiri.” Setelah mengucapkan kata-kata<br />
tersebut, atas permintaan upasaka tersebut, beliau menceritakan<br />
kisah kelahiran lampau ini.<br />
____________________<br />
Pada suatu ketika Brahmadatta memerintah di Benares,<br />
Bodhisatta terlahir sebagai seorang brahmana. Setelah dewasa,<br />
ia menyadari akan kejahatan yang timbul dari nafsu, sehingga ia<br />
meninggalkan keduniawian untuk hidup sebagai petapa di<br />
sebuah dusun di sekitar Pegunungan Himalaya. Karena<br />
kebutuhan akan garam dan cuka, menyebabkan ia berpindapata<br />
melalui pedusunan. Ia melakukan perjalanan dalam<br />
pengembaraannya bersama karavan seorang saudagar. Ketika<br />
karavan tersebut berhenti di sebuah tempat di dalam hutan, ia<br />
mondar-mandir di kaki pohon di dekat karavan, menikmati<br />
kebahagiaan jhana.<br />
Suttapiṭaka Jātaka I<br />
Setelah makan malam, lima ratus orang perampok<br />
mengepung perkemahan tersebut untuk menjarahnya; namun,<br />
setelah memperhatikan petapa tersebut, mereka berhenti, sambil<br />
berkata, “Jika ia melihat kita, ia akan membunyikan tanda<br />
bahaya; tunggu hingga ia tertidur, baru kita jarah mereka.”<br />
Namun, sepanjang malam petapa tersebut terus mondar-mandir;<br />
dan para perampok itu tidak mendapatkan kesempatan sedikit<br />
pun. Maka mereka menjatuhkan kayu dan batu mereka, lalu<br />
berteriak pada rombongan karavan itu, “Hai, yang di sana!<br />
Kalian, rombongan karavan! Jika bukan karena petapa yang<br />
berjalan di kaki pohon, telah kami jarah muatan kalian. Layani<br />
dan jamu ia besok!” Setelah mengucapkan kata-kata tersebut,<br />
mereka melarikan diri. Saat malam berganti pagi, orang-orang itu<br />
melihat alat pemukul dan batu yang telah dibuang oleh para<br />
perampok [334], menjadi ketakutan dan gemetaran, bertanya<br />
kepada Bodhisatta dengan penuh hormat, apakah ia melihat<br />
para perampok tersebut. “Oh, ya, saya melihat mereka, Tuantuan,”<br />
jawabnya. “Apakah Anda tidak membunyikan tanda<br />
bahaya atau merasa takut saat melihat begitu banyak<br />
perampok?” “Tidak,” kata Bodhisatta, “saat melihat perampok itu,<br />
timbul apa yang disebut sebagai ketakutan hanya pada mereka<br />
yang kaya. Sementara saya, — saya tidak mempunyai satu sen<br />
pun; mengapa saya harus merasa takut? Baik tinggal di dusun<br />
maupun di hutan, saya tidak merasa takut atau ngeri.”<br />
Bersamaan itu, untuk mengajarkan kebenaran kepada mereka, ia<br />
mengulangi syair berikut ini : —<br />
Rasa takut tidak timbul dalam diriku saat di dusun;<br />
425<br />
426