Jataka Vol.I PDF - DhammaCitta
Jataka Vol.I PDF - DhammaCitta
Jataka Vol.I PDF - DhammaCitta
Create successful ePaper yourself
Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.
Suttapiṭaka Jātaka I<br />
ke dalam sungai dan bergegas pergi. Hujan turun dengan<br />
derasnya, matahari terbenam dan hari mulai gelap. Saat para<br />
pendampingnya tiba di rumah tanpa nyonya muda mereka, dan<br />
ditanyai dimana ia berada, mereka menjawab bahwa ia telah<br />
keluar dari Sungai Gangga, mereka tidak mengetahui ke mana ia<br />
pergi. Pencarian dilakukan oleh keluarganya, namun tidak ada<br />
satu jejak pun yang ditemukan dari gadis yang hilang itu.<br />
Sementara itu ia berteriak dengan keras, terseret dalam<br />
gelombang sungai, dan di tengah malam, ia tiba di tempat<br />
dimana Bodhisatta tinggal di tempat pertapaannya. Mendengar<br />
suara tangisannya, Bodhisatta berpikir, “Ada suara tangis wanita,<br />
saya harus menolongnya dari dalam air.” Ia membawa sebuah<br />
obor; dengan sinar obor tersebut, ia menghampiri gadis yang<br />
berada di sungai tersebut. “Jangan takut, jangan takut!” ia<br />
berseru menenangkan, mengarungi sungai dan berterima kasih<br />
pada tenaganya yang sangat kuat, seperti seekor gajah, ia<br />
membawa gadis itu dengan selamat ke daratan. Kemudian ia<br />
menyalakan perapian untuknya di tempat pertapaannya, dan<br />
menyiapkan beragam buah-buahan yang sangat lezat di<br />
hadapan gadis itu. Setelah gadis itu selesai makan ia baru<br />
bertanya, “Dimanakah rumahmu, dan bagaimana sampai engkau<br />
jatuh ke dalam sungai?” Gadis tersebut menceritakan semua hal<br />
yang menimpanya pada Bodhisatta. “Tinggallah di sini saat ini,”<br />
katanya, dan menempatkannya di tempat pertapaannya,<br />
sementara ia sendiri tinggal di udara terbuka. Akhirnya ia<br />
meminta gadis itu untuk pulang, namun gadis itu memilih<br />
menunggu hingga ia berhasil membuat petapa itu jatuh cinta<br />
kepadanya; ia tidak mau pergi. Dengan berlalunya waktu, ia<br />
Suttapiṭaka Jātaka I<br />
membuat petapa itu gelisah dengan keanggunan dan tipu<br />
muslihat seorang wanita sehingga akhirnya ia kehilangan<br />
pencerahannya. Ia tinggal bersama gadis itu di dalam hutan.<br />
Namun gadis itu tidak suka tinggal di tempat yang terpencil, ia<br />
ingin tinggal di antara orang banyak. Menyerah pada<br />
desakannya, brahmana itu membawanya ke pinggir desa, tempat<br />
ia menyokong kehidupan mereka dengan menjual susu mentega<br />
(takka). Ia dipanggil Pendeta Takka. Para penduduk di sana<br />
membayarnya untuk mengajari mereka kapan musim yang baik<br />
dan buruk, memberikan sebuah pondok sebagai tempat<br />
tinggalnya di jalan masuk menuju desa mereka.<br />
Suatu saat, pinggiran desa itu diganggu oleh perampok<br />
dari gunung. Mereka menyerang [297] desa yang dihuni oleh<br />
pasangan tersebut, dan merampok di sana. Membuat para<br />
penduduk yang malang itu mengepak barang-barang mereka,<br />
dan berangkat bersama mereka — dengan putri saudagar itu di<br />
antara mereka — menuju tempat tinggal para perampok itu.<br />
Setiba di sana, mereka membebaskan semua orang, kecuali<br />
gadis itu, karena kecantikannya, ia dijadikan istri oleh kepala<br />
perampok itu.<br />
Saat Bodhisatta mengetahui hal ini, ia berpikir, “Ia tidak<br />
akan tahan untuk hidup jauh dari saya. Ia akan melarikan diri dan<br />
kembali lagi kepada saya.” Demikianlah cara ia melanjutkan<br />
hidup, menanti gadis itu kembali kepadanya. Saat yang sama,<br />
gadis itu merasa bahagia hidup dengan para perampok itu, ia<br />
hanya merasa khawatir kalau-kalau Pendeta Takka itu akan<br />
datang untuk membawanya pergi. “Saya hanya akan merasa<br />
aman,” pikirnya, “jika ia mati. Saya harus mengirim pesan<br />
355<br />
356