Jataka Vol.I PDF - DhammaCitta
Jataka Vol.I PDF - DhammaCitta
Jataka Vol.I PDF - DhammaCitta
You also want an ePaper? Increase the reach of your titles
YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.
Suttapiṭaka Jātaka I<br />
Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, Beliau menceritakan<br />
kisah kelahiran lampau ini.<br />
____________________<br />
Suatu ketika, Brahmadatta memerintah di Benares,<br />
Bodhisatta terlahir sebagai seekor kuda Sindhu (Sindhavā)<br />
keturunan murni. Ia merupakan kuda utama kerajaan, yang<br />
dikelilingi oleh kemegahan dan kebesaran. Makanannya berupa<br />
beras usia tiga tahun yang sangat halus, disajikan dalam<br />
mangkuk emas yang bernilai uang seratus ribu keping, lantai<br />
istalnya diberi wewangian dengan empat keharuman yang<br />
berbeda. Tirai merah tua tergantung di sekeliling dinding istalnya,<br />
sementara di atas istal itu, terdapat sebuah langit-langit yang<br />
bertaburkan bintang-bintang emas. Dindingnya dihiasi dengan<br />
rangkaian dan untaian bunga yang wangi, dan sebuah lampu<br />
dengan minyak yang beraroma selalu menyala di sana.<br />
Di masa itu, semua raja di sekitar Benares menginginkan<br />
Kerajaan Benares. Sekali waktu, tujuh raja mengepung Benares<br />
dan mengirimkan sebuah pernyataan perang kepada raja yang<br />
berbunyi, “Serahkan kerajaanmu kepada kami atau kita akan<br />
bertempur.” Raja mengumpulkan semua menterinya dan<br />
memaparkan masalah tersebut di hadapan mereka semua,<br />
menanyakan apa yang harus ia lakukan. Mereka menjawab,<br />
“Anda tidak boleh keluar untuk berperang sendiri pada tahap<br />
pertama, Paduka. [179] Pertama-tama, kirim kesatria ini dan itu<br />
terlebih dahulu untuk bertempur dengan mereka; selanjutnya, jika<br />
mereka kalah, kita akan memutuskan apa yang harus dilakukan.”<br />
Raja meminta kesatria itu menghadapnya, dan berkata,<br />
“Dapatkah engkau menghadapi ketujuh raja itu, Kesatriaku?”<br />
Suttapiṭaka Jātaka I<br />
Kesatria itu menjawab, “Berikan kuda utamamu yang agung itu<br />
kepadaku, maka bukan hanya tujuh raja itu saja yang akan saya<br />
hadapi, namun semua raja yang ada di India.” “Kesatriaku,<br />
bawalah kuda utamaku maupun kuda lain yang engkau sukai,<br />
dan pergilah bertempur!” “Baiklah, Raja yang penuh kuasa,”<br />
jawab kesatria itu. Dan dengan sebuah busur, ia turun dari lantai<br />
atas istana, kemudian mengeluarkan kuda utama yang agung itu<br />
dan menyarungkan baju kuda padanya serta melengkapi dirinya<br />
sendiri secara menyeluruh dan mempersiapkan pedangnya.<br />
Dengan menunggang kuda yang agung itu, ia keluar dari<br />
gerbang kota, dan dengan cepat, ia mengalahkan kubu pertama<br />
serta menangkap seorang raja hidup-hidup, membawanya<br />
sebagai tawanan di bawah penjagaan pasukannya. Kemudian ia<br />
kembali ke medan perang, mengalahkan kubu kedua dan ketiga,<br />
dan seterusnya hingga ia menangkap lima raja hidup-hidup. Ia<br />
baru saja mengalahkan kubu keenam dan menawan raja<br />
keenam, saat kuda perangnya itu mendapatkan sebuah luka,<br />
yang terus mengucurkan darah dan membuat hewan yang agung<br />
itu menderita kesakitan yang hebat. Mengetahui kuda itu telah<br />
terluka, kesatria itu membaringkannya di gerbang istana,<br />
melepaskan baju kudanya dan mempersiapkan perlengkapan<br />
untuk kuda yang lain. Saat Bodhisatta yang sedang terbaring<br />
sepanjang sisi tubuhnya itu membuka matanya, ia melihat apa<br />
yang dilakukan oleh kesatria itu. “Penunggangku,” pikirnya,<br />
“sedang mempersiapkan kuda lain. Kuda itu tidak akan mampu<br />
mengalahkan kubu ketujuh dan menangkap raja ketujuh; ia akan<br />
menghilangkan semua yang telah saya perjuangkan. Kesatria<br />
yang tidak tertandingi ini akan dibunuh, demikian juga dengan<br />
139<br />
140