22.11.2014 Views

Jataka Vol.I PDF - DhammaCitta

Jataka Vol.I PDF - DhammaCitta

Jataka Vol.I PDF - DhammaCitta

SHOW MORE
SHOW LESS

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

Suttapiṭaka Jātaka I<br />

Saat itu di Rājagaha, hiduplah dua orang sahabat. Satu<br />

orang mengucapkan sumpahnya di bawah Sang Guru,<br />

sementara yang satunya lagi, bersumpah di bawah Devadatta.<br />

Mereka berdua saling bertemu sepanjang waktu, baik secara<br />

kebetulan maupun dengan mengunjungi wihara masing-masing.<br />

Suatu hari, murid Devadatta berkata kepada temannya, “Bhante,<br />

mengapa setiap hari engkau pergi berkeliling melakukan<br />

pindapata hingga keringat bercucuran di tubuhmu? Devadatta<br />

hanya perlu duduk dengan tenang di Gayāsīsa, dan hidup dari<br />

makanan dari kualitas terbaik yang dibumbui dengan semua<br />

bumbu pilihan, tidak perlu melakukan apa yang kamu lakukan.<br />

Mengapa mencari penderitaan sendiri? Apakah tidak baik<br />

bagimu untuk datang pagi-pagi sekali ke wihara di Gayāsīsa, dan<br />

menikmati bubur nasi dengan makanan pembuka setelah itu,<br />

mencoba delapan belas jenis makanan padat yang kami miliki<br />

dan juga makanan lunak dengan mutu yang baik, yang dibumbui<br />

dengan semua bumbu pilihan?”<br />

Karena selalu dibujuk untuk menerima undangan<br />

tersebut, bhikkhu ini mulai berniat untuk pergi, dan akhirnya ia<br />

pergi juga ke Gayāsīsa, ia makan dan makan, namun ia tidak<br />

lupa untuk kembali ke Weluwana pada waktunya.<br />

Bagaimanapun, ia tidak dapat terus merahasiakan hal itu; sedikit<br />

demi sedikit, bhikkhu yang lain mulai mengetahui ia selalu pergi<br />

ke Gayāsīsa dan menikmati makanan yang disediakan untuk<br />

Devadatta. Karena itu, teman-temannya bertanya kepadanya,<br />

“Benarkah apa yang dikatakan mereka, bahwa engkau<br />

menghibur diri dengan makanan yang dipersembahkan untuk<br />

Devadatta?” “Siapa yang mengatakan hal itu?” “Si anu yang<br />

Suttapiṭaka Jātaka I<br />

mengatakannya.” “Benar, Awuso, saya pergi ke Gayāsīsa dan<br />

makan di sana. Namun bukan Devadatta yang memberikan<br />

makanan kepadaku, bhikkhu lain yang melakukannya.” “Awuso,<br />

Devadatta adalah musuh Buddha; dengan akal liciknya, ia<br />

mendapatkan kesetiaan Ajātasattu, dan dengan cara jahat, ia<br />

memperoleh keuntungan dan penghormatan untuk dirinya.<br />

Namun, kamu yang mengambil sumpah berdasarkan ajaran yang<br />

akan membawa nibbana bagi kita, makan makanan yang<br />

diperoleh Devadatta dengan cara-cara yang tidak benar. Mari,<br />

kami akan membawamu menghadap Sang Guru.” Kemudian<br />

mereka membawa bhikkhu itu ke Balai Kebenaran.<br />

Ketika Sang Guru melihat kedatangan mereka, Beliau<br />

bertanya, “Para Bhikkhu, mengapa bhikkhu ini dibawa<br />

bertentangan dengan kehendaknya?” “Bhante, bhikkhu ini,<br />

setelah mengucapkan sumpah di bawah pengawasan-Mu,<br />

makan makanan yang diperoleh Devadatta dengan cara-cara<br />

yang tidak benar.” “Benarkah apa yang mereka katakan, bahwa<br />

engkau makan makanan yang diperoleh Devadatta dengan cara<br />

yang tidak benar?” “Bukan Devadatta yang memberikan<br />

makanan itu kepadaku, Bhante, melainkan orang lain.”<br />

“Jangan membuat dalih di sini, Bhikkhu,” kata Sang<br />

Guru. “Devadatta adalah pemimpin yang buruk dengan prinsip<br />

yang salah. Oh, bagaimana engkau bisa, setelah mengambil<br />

sumpah di sini, makan makanan dari Devadatta, saat engkau<br />

menjalankan ajaran-Ku? Namun, engkau memang selalu mudah<br />

dipengaruhi, selalu mengikuti perkataan setiap orang yang<br />

engkau temui.” Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, Beliau<br />

menceritakan kisah kelahiran lampau ini.<br />

153<br />

154

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!