22.11.2014 Views

Jataka Vol.I PDF - DhammaCitta

Jataka Vol.I PDF - DhammaCitta

Jataka Vol.I PDF - DhammaCitta

SHOW MORE
SHOW LESS

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

Suttapiṭaka Jātaka I<br />

menanyai hewan itu, “Apakah engkau yang mematuk pria ini?”<br />

“Ya, benar,” jawab ular itu. [311] “Kalau begitu, sedot kembali<br />

racunmu itu dari luka tersebut.” “Apa? Menyedot kembali racun<br />

yang telah saya keluarkan?” seru ular itu, “saya tidak pernah, dan<br />

saya tidak akan pernah (melakukannya).” Tabib itu kemudian<br />

membuat api dengan menggunakan kayu, dan berkata kepada<br />

ular itu, “Engkau sedot ke luar racun itu atau engkau masuk ke<br />

dalam api.”<br />

“Walaupun api itu akan membinasakanku, saya tidak<br />

akan menyedot kembali racun yang telah saya keluarkan,” jawab<br />

ular itu, dan mengulangi syair berikut ini: —<br />

Memalukan jika racun yang telah saya keluarkan,<br />

Demi menyelamatkan nyawaku, saya telan kembali !<br />

Lebih baik menerima kematian dari pada hidup yang<br />

Diperoleh melalui kesukaan yang kurang baik!<br />

Setelah berkata demikian, ular itu bergerak ke arah api.<br />

Tetapi tabib itu menghalanginya; lalu mengeluarkan racun itu<br />

dengan ramuan 123 dan dengan ketenangan dan kehati-hatian,<br />

sehingga pria tersebut sembuh kembali. Kemudian ia<br />

menyampaikan sila kepada ular itu, dan membebaskannya<br />

dengan berkata, “Mulai sekarang, jangan melukai siapa pun lagi.”<br />

____________________<br />

Sang Guru melanjutkan perkataannya, “Para Bhikkhu,<br />

jika Sariputta telah melepaskan diri dari sesuatu, ia tidak akan<br />

Suttapiṭaka Jātaka I<br />

pernah mengambilnya lagi, walaupun nyawanya yang menjadi<br />

taruhan.” Setelah uraian tersebut berakhir, beliau mempertautkan<br />

dan menjelaskan tentang kelahiran tersebut, “Sariputta adalah<br />

ular itu pada kehidupan lampau, dan saya adalah tabib tersebut.”<br />

No.70.<br />

KUDDĀLA-JĀTAKA<br />

“Penaklukan,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh<br />

Sang Guru ketika berada di Jetawana, mengenai seorang Thera<br />

yang bernama Cittahattha-Sariputta (Cittahattha-Sāriputta).<br />

Dikatakan semasa mudanya, ia berasal dari sebuah keluarga<br />

yang baik di Sawatthi. Suatu hari, saat dalam perjalanan pulang<br />

setelah membajak (tanah), ia berkunjung ke wihara. Di sana ia<br />

menerima makanan bagus yang lezat dan manis rasanya dari<br />

patta 124 seorang bhikkhu sepuh (Thera), yang membuatnya<br />

berpikir, “Meskipun siang dan malam saya bekerja keras dengan<br />

kedua tangan mengerjakan berbagai macam pekerjaan, belum<br />

pernah saya menikmati makanan yang begitu enak. Saya harus<br />

menjadi seorang bhikkhu.” Maka ia menjadi anggota Sanggha;<br />

tetapi, setelah enam minggu berusaha dengan giat menerapkan<br />

perenungan yang mulia, ia dikuasai nafsu dan pergi dari sana.<br />

Karena menginginkan makanan bagus, [312] ia kembali menjadi<br />

123<br />

Berupa daun, atau akar, atau batang, atau biji untuk obat.<br />

383<br />

124<br />

Mangkuk penampung atau wadah derma makanan.<br />

384

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!