Jataka Vol.I PDF - DhammaCitta
Jataka Vol.I PDF - DhammaCitta
Jataka Vol.I PDF - DhammaCitta
Create successful ePaper yourself
Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.
Suttapiṭaka Jātaka I<br />
Sekali waktu ketika Brahmadatta memerintah di Benares,<br />
Bodhisatta terlahir dalam sebuah keluarga Brahmana dari utara<br />
di Kāsi. Setelah dewasa, ia meninggalkan keduniawian untuk<br />
menjalani hidup sebagai petapa. Ia memperoleh kemampuan<br />
batin luar biasa (kesaktian) dan pencapaian (meditasi), menetap<br />
dalam kebahagiaan pencapaian jhana di Pegunungan Himalaya,<br />
dengan lima ratus orang siswa di sekelilingnya. Suatu ketika,<br />
saat musim hujan tiba, para siswanya bertanya, “Guru, bolehkan<br />
kami pergi ke perkampungan manusia dan membawa pulang<br />
garam serta cuka?” “Untuk saya pribadi, saya akan tetap disini;<br />
sementara kalian boleh pergi demi keselamatan kalian, dan<br />
kembalilah setelah musim hujan berlalu.”<br />
“Baik,” jawab mereka, dan dengan penuh hormat pamit<br />
kepada guru mereka, menuju ke Benares, dimana mereka<br />
mengambil tempat tinggal di taman peristirahatan kerajaan.<br />
Keesokan harinya, mereka melakukan pindapata di sebuah desa<br />
yang berada di luar gerbang kota, tempat mereka mendapatkan<br />
makanan yang berlimpah; hari berikutnya mereka masuk ke<br />
dalam kota itu sendiri. Para penduduk dengan ramah<br />
memberikan dana kepada mereka; raja segera mendapat kabar<br />
bahwa lima ratus orang petapa dari Pegunungan Himalaya telah<br />
bermalam di taman peristirahatan kerajaan, dan mereka<br />
merupakan petapa yang sangat cermat, menahan diri dari<br />
(makan) daging, dan dipenuhi dengan kebaikan. Mendengar<br />
karakter mereka yang baik, raja mengunjungi taman<br />
peristirahatan dan dengan ramah menerima mereka [362] untuk<br />
menetap di sana selama empat bulan lamanya. Sejak saat itu<br />
mereka menerima dana makanan dari istana dan bertempat<br />
Suttapiṭaka Jātaka I<br />
tinggal di taman peristirahatan kerajaan. Suatu hari, sebuah<br />
perayaan minuman diselenggarakan di kota, dan raja<br />
mempersiapkan sejumlah besar persediaan minuman keras mutu<br />
terbaik untuk kelima ratus orang petapa karena mengetahui hal<br />
tersebut jarang diperoleh mereka yang telah meninggalkan<br />
keduniawian dan segalanya. Para petapa itu meminum minuman<br />
keras tersebut dan kembali ke taman peristirahatan kerajaan. Di<br />
sana, dalam keriuhan akibat mabuk, beberapa orang menari,<br />
beberapa orang bernyanyi, sementara yang lain, bosan menari<br />
dan bernyanyi, menendang keranjang beras dan benda-benda<br />
lainnya, — setelah itu mereka berbaring untuk tidur. Setelah tidur<br />
yang menghilangkan kemabukan mereka, mereka terbangun dan<br />
melihat bekas-bekas keriuhan mereka, mereka menangis dan<br />
meratap, berkata, “Kita telah melakukan apa yang tidak<br />
seharusnya kita lakukan. Kita melakukan keburukan ini karena<br />
berada jauh dari guru kita.” Karenanya, mereka meninggalkan<br />
taman peristirahatan kerajaan dan kembali ke Pegunungan<br />
Himalaya. Setelah meletakkan patta dan benda-benda lainnya di<br />
samping, mereka memberi hormat kepada guru mereka dan<br />
mengambil tempat duduk. “Baiklah, Anak-anakku,” kata guru<br />
mereka, “apakah kalian merasa nyaman tinggal di tengah-tengah<br />
perkampungan manusia, dan apakah kalian terhindar dari rasa<br />
bosan melakukan perjalanan pindapata? Apakah kalian menetap<br />
bersama satu dengan yang lain?”<br />
“Ya, Guru, kami merasa nyaman; namun kami meminum<br />
minuman yang terlarang, karenanya, kami kehilangan akal sehat<br />
kami dan lupa pada jati diri kami, kami menari dan bernyanyi.”<br />
483<br />
484