Jataka Vol.I PDF - DhammaCitta
Jataka Vol.I PDF - DhammaCitta
Jataka Vol.I PDF - DhammaCitta
You also want an ePaper? Increase the reach of your titles
YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.
Suttapiṭaka Jātaka I<br />
“Kalau begitu, saya akan membawakan beberapa gading<br />
untuk kalian,” katanya dan segera berangkat menuju tempat<br />
tinggal Bodhisatta, dengan membawa bekal selama perjalanan<br />
dan juga sebuah gergaji yang tajam. Ketika ditanya apa yang<br />
membuat ia kembali, ia mengeluh bahwa ia sangat miskin dan<br />
dalam keadaan yang menyedihkan sehingga ia tidak bisa<br />
bertahan hidup. Karena itu, ia kembali untuk meminta sedikit<br />
gading dari gajah yang baik hati itu untuk dijual agar dapat<br />
menghidupi dirinya. “Baiklah, saya akan memberikan seluruh<br />
gading kepadamu,” kata Bodhisatta, “jika kamu mempunyai<br />
sebuah gergaji untuk memotongnya.” “Oh, saya membawa<br />
sebuah gergaji, Tuan.” “Kalau begitu, gergajilah gading-gading<br />
saya dan bawalah bersamamu,” kata Bodhisatta. Kemudian ia<br />
menekuk lututnya hingga berbaring di atas tanah seperti seekor<br />
sapi. Perimba itu menggergaji kedua gading utama Bodhisatta.<br />
Setelah gading-gading itu putus, Bodhisatta mengangkat gadinggading<br />
itu dengan belalainya dan berkata kepada lelaki itu,<br />
“Janganlah berpikir, temanku manusia, bahwa saya tidak<br />
menghargai atau tidak menjunjung gading-gading ini sehingga<br />
saya memberikan gading-gading ini kepadamu. Namun seribu<br />
kali, seratus ribu kali, saya lebih menyayangi gading<br />
pengetahuan tiada batas yang bisa memahami semua hal.<br />
Karena itu, semoga pemberian saya akan gading-gading ini<br />
kepadamu membawa pengetahuan tiada batas kepadaku.”<br />
Diiringi kata-kata tersebut, ia memberikan sepasang gading itu<br />
kepada perimba tersebut sebagai harga atas pengetahuan tiada<br />
batas.<br />
Suttapiṭaka Jātaka I<br />
Lelaki tersebut membawa kedua gading itu pergi dan<br />
menjualnya. Setelah menghabiskan uangnya, ia kembali<br />
menemui Bodhisatta, berkata bahwa kedua gading tersebut<br />
hanya cukup baginya untuk membayar hutang-hutang lamanya,<br />
dan memohon agar Bodhisatta memberikan sisa gadingnya.<br />
Bodhisatta menyetujuinya, dan memberikan sisa gadingnya<br />
setelah membiarkannya dipotong seperti sebelumnya. Perimba<br />
itu pergi dan menjual sisa gading itu juga. Kembali lagi, ia<br />
berkata, “Tidak ada gunanya, Tuanku. Saya tetap tidak bisa<br />
bertahan hidup. Jadi, berikanlah padaku pangkal gadingmu.”<br />
“Ambillah,” kata Bodhisatta; dan ia berbaring seperti<br />
sebelumnya. Lalu penjahat yang sangat keji itu menginjak belalai<br />
Bodhisatta, belalai yang suci laksana untaian perak, dan<br />
merangkak naik ke atas pelipis calon Buddha itu, yang bagaikan<br />
puncak Gunung Kelasa (Kelāsa) yang bersalju,—menyepak akar<br />
gading itu hingga dagingnya terkelupas. Lalu ia menggergaji<br />
pangkal gading itu dan pergi setelah mendapatkannya. Begitu<br />
orang jahat itu menghilang dari pandangan Bodhisatta, tanah<br />
yang padat, yang tidak terbayangkan luasnya, [322] yang dapat<br />
menahan beban Gunung Sineru dan puncak-puncak yang<br />
mengelilinginya, beserta semua kotoran dunia yang menjijikkan,<br />
meledak hancur berantakan membentuk sebuah jurang yang<br />
menganga,—seakan tidak mampu menahan beban semua<br />
kekejian itu. Seketika itu juga, nyala api dari neraka yang paling<br />
bawah menyelubungi orang yang tidak tahu berterima kasih itu,<br />
membungkusnya seperti kain kafan kematian, dan membawanya<br />
pergi. Saat penjahat itu ditelan ke dalam perut bumi, dewa pohon<br />
yang tinggal di hutan itu membuat wilayah itu menggemakan<br />
403<br />
404