Jataka Vol.I PDF - DhammaCitta
Jataka Vol.I PDF - DhammaCitta
Jataka Vol.I PDF - DhammaCitta
You also want an ePaper? Increase the reach of your titles
YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.
Suttapiṭaka Jātaka I<br />
pun dapat mengetahui apa yang cocok untuknya dan apa yang<br />
tidak. Bagaimana bisa engkau tidak mengetahuinya?” [217] Saat<br />
uraian-Nya berakhir, Beliau membabarkan Dhamma. Di akhir<br />
khotbah, bhikkhu tersebut mencapai tingkat kesucian Sotāpanna.<br />
Sang Guru kemudian mempertautkan dan menjelaskan tentang<br />
kelahiran tersebut dengan berkata, “Siswa Sang Buddha adalah<br />
burung-burung yang menuruti nasihat Bodhisatta, dan Saya<br />
sendiri adalah burung yang bijaksana dan baik tersebut.”<br />
No.37.<br />
TITTIRA-JĀTAKA<br />
“Mereka yang menghormati umur,” dan seterusnya.<br />
Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru dalam perjalanan menuju ke<br />
Sawatthi, mengenai Thera Sāriputta yang tinggal di luar kamar di<br />
waktu malam.<br />
Saat Anāthapiṇḍika yang membangun sebuah wihara<br />
menyampaikan pesan bahwa wihara tersebut telah selesai di<br />
bangun, Sang Guru meninggalkan Rājagaha dan pergi ke Vesālī,<br />
melanjutkan perjalanan setelah berhenti di Vesālī selama yang<br />
Beliau inginkan. Saat itulah keenam bhikkhu bergegas<br />
mendahului, sebelum para thera mendapatkan tempat tinggal,<br />
mereka memonopoli semua kamar yang ada, yang mereka bagibagikan<br />
kepada upajjhāya 77 , ācariya (guru) 78 , dan mereka<br />
77<br />
Guru yang melantik seseorang menjadi bhikkhu, guru pemberi sila kebhikkhuan.<br />
209<br />
Suttapiṭaka Jātaka I<br />
sendiri. Saat para thera sampai di sana, mereka tidak<br />
mendapatkan kamar untuk bermalam. Para siswa Sāriputta juga,<br />
setelah melakukan pencarian, tidak dapat menemukan kamar<br />
untuk sang thera. Karena tidak mendapatkan kamar, thera<br />
tersebut bermalam di kaki sebatang pohon dekat kamar Sang<br />
Guru. Ia berjalan, ataupun duduk di kaki pohon tersebut.<br />
Saat fajar tiba, Sang Guru terbatuk ketika berjalan keluar<br />
dari kamarnya, thera tersebut juga terbatuk. “Siapakah itu?”<br />
tanya Sang Guru. “Saya, Bhante, Sāriputta.” “Apa yang engkau<br />
lakukan di sini pada waktu seperti ini, Sāriputta?” Sang thera<br />
menceritakan apa yang terjadi kepada Beliau, di akhir<br />
penjelasannya, Sang Guru berpikir, “bahkan pada saat ini, saat<br />
saya masih hidup, para bhikkhu telah berani bersikap tidak sopan<br />
dan berani memandang rendah; apa yang tidak bisa mereka<br />
lakukan setelah saya meninggal dan tidak ada lagi?” Pikiran itu<br />
membuat Beliau dipenuhi kecemasan atas kenyataan itu. Begitu<br />
hari terang, Beliau mengumpulkan semua anggota Sanggha dan<br />
bertanya pada mereka, “Benarkah, para Bhikkhu, apa yang saya<br />
dengar, bahwa keenam bhikkhu datang lebih dahulu dan<br />
membuat para thera di antara bhikkhu-bhikkhu tidak<br />
mendapatkan tempat tinggal pada malam harinya?” “Itulah yang<br />
terjadi, Bhagawan,” jawab mereka. Karena itu, untuk mengecam<br />
keenam bhikkhu tersebut, dan sebagai pelajaran untuk semua<br />
bhikkhu, Beliau menegur mereka dengan berkata, “Katakan<br />
78<br />
Ada empat jenis guru: guru pabbajā, yang menahbiskan seseorang menjadi sāmaṇera;<br />
guru upasampadā, yang membacakan mosi/usul dan keputusan dalam upacara<br />
upasampadā; guru dhamma, yang mengajarkan bahasa Pali dan kitab suci; guru nissaya,<br />
yang kepadanya seseorang hidup bersandar.<br />
210