Jataka Vol.I PDF - DhammaCitta
Jataka Vol.I PDF - DhammaCitta
Jataka Vol.I PDF - DhammaCitta
Create successful ePaper yourself
Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.
Suttapiṭaka Jātaka I<br />
menceritakannya kepada Beliau. “Para Bhikkhu,” kata Beliau,<br />
“ketahuilah, ini bukan pertama kalinya keempat bhikkhu ini<br />
membawa penderitaan bagi Ibu Kāṇā dengan memakan<br />
perbekalannya; mereka juga melakukan hal yang sama di<br />
kelahiran yang lampau.” Setelah mengucapkan kata-kata<br />
tersebut Beliau menceritakan kisah kelahiran lampau ini.<br />
____________________<br />
Sekali waktu ketika Brahmadatta memerintah di Benares,<br />
Bodhisatta terlahir sebagai seorang pemahat batu, tumbuh<br />
menjadi ahli dalam melakukan pekerjaan dengan batu. Di Negeri<br />
Kāsi tinggallah seorang saudagar kaya yang menimbun harta<br />
emasnya yang bernilai empat ratus juta. Setelah istrinya<br />
meninggal, disebabkan oleh kuatnya kemelekatan dirinya<br />
terhadap emas tersebut, ia terlahir kembali sebagai seekor tikus<br />
yang tinggal di atas hartanya itu. Satu demi satu anggota<br />
keluarga tersebut meninggal dunia, termasuk saudagar itu<br />
sendiri. Seperti desa lainnya, desa itu ditinggalkan dan<br />
keadaannya menjadi menyedihkan. Pada saat cerita ini<br />
berlangsung, Bodhisatta sedang menggali dan membentuk batu<br />
di desa yang telah ditinggalkan itu, dan tikus itu sering<br />
melihatnya saat berkeluyuran mencari makan. Akhirnya tikus ini<br />
memiliki perasaan cinta kepadanya; dan memikirkan bagaimana<br />
jika rahasia keluarganya yang berlimpah itu akan ikut terkubur<br />
bersamanya, ia memikirkan untuk menikmati harta tersebut<br />
bersama Bodhisatta. Maka suatu hari, ia menemui Bodhisatta<br />
dengan sebuah koin di mulutnya. Melihat hal itu, ia berkata<br />
dengan ramah pada tikus tersebut, “Ibu, apa yang membuat<br />
engkau datang dengan membawa koin ini?” “Ini untukmu, untuk<br />
Suttapiṭaka Jātaka I<br />
dibelanjakan olehmu, dan juga untuk membeli daging untuk<br />
diriku, Anakku.” Tanpa rasa jijik sedikitpun, ia mengambil uang<br />
tersebut, dan membelanjakan setengahnya untuk membeli<br />
daging yang ia bawakan untuk tikus tersebut, yang segera pergi<br />
dan makan daging itu untuk mengisi perutnya. Hal tersebut terus<br />
berlanjut, tikus itu memberikan satu keping koin setiap hari, dan<br />
ia kembali dengan membawakan daging untuknya. Namun, suatu<br />
hari tikus itu ditangkap oleh seekor kucing.<br />
“Jangan bunuh saya,” kata tikus tersebut.<br />
“Mengapa tidak?” tanya kucing tersebut. “Saya sudah<br />
sangat lapar, dan benar-benar harus membunuhmu untuk<br />
menghilangkan rasa sakit karena lapar.”<br />
“Sekarang, katakan, apakah engkau selalu merasa<br />
lapar, atau hanya merasa lapar pada hari ini saja?”<br />
“Oh, setiap hari saya selalu kelaparan.”<br />
“Baiklah kalau demikian, jika boleh, saya akan membuat<br />
engkau selalu mendapatkan daging setiap hari; [479] tetapi,<br />
biarkan saya pergi.”<br />
“Ingatlah untuk melakukan hal itu,” kata kucing itu, dan<br />
membiarkan tikus itu pergi.<br />
Akibatnya tikus itu harus membagi persediaan daging<br />
yang ia peroleh dari Bodhisatta menjadi dua bagian, memberikan<br />
sebagian kepada kucing tersebut, menyimpan sebagian lagi<br />
untuk dirinya sendiri.<br />
Sudah menjadi takdirnya, tikus itu ditangkap oleh kucing<br />
kedua dan harus menebus kebebasannya dengan dengan syarat<br />
yang sama, maka sekarang makanan harian mereka harus<br />
dibagi menjadi tiga bagian. Dan ketika kucing yang ketiga<br />
677<br />
678