Jataka Vol.I PDF - DhammaCitta
Jataka Vol.I PDF - DhammaCitta
Jataka Vol.I PDF - DhammaCitta
Create successful ePaper yourself
Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.
Suttapiṭaka Jātaka I<br />
___________________<br />
Setelah uraiannya berakhir, Sang Guru berkata, “Anda<br />
tidak perlu mengkhawatirkan mimpi-mimpi tersebut, hindarilah<br />
upacara kurban.” Setelah menghentikan upacara kurban dan<br />
menyelamatkan nyawa sejumlah makhluk hidup, beliau<br />
mempertautkan dan menjelaskan kelahiran tersebut, “Ananda<br />
adalah raja pada waktu itu, Sariputta adalah brahmana muda itu,<br />
dan saya sendiri adalah petapa tersebut.”<br />
No.78.<br />
ILLĪSA-JĀTAKA<br />
“Keduanya juling,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan<br />
oleh Sang Guru ketika berada di Jetawana, mengenai seorang<br />
Tuan Bendahara Besar yang kikir. Di dekat Kota Rajagaha<br />
(Rājagaha), sebagaimana diceritakan, terdapat sebuah kota yang<br />
bernama Gula Merah (Jagghery), dan di sini tinggallah seorang<br />
Tuan Bendahara Besar, yang dikenal sebagai Jutawan Kikir,<br />
yang mempunyai kekayaan sebesar delapan ratus juta. Tidak<br />
lebih dari setetes kecil minyak yang diteteskan di atas sehelai<br />
rumput, seperti itulah kekayaan yang ia dermakan ataupun<br />
gunakan untuk kesenangannya sendiri. Maka semua<br />
kekayaannya tidak berguna baik untuk keluarganya maupun<br />
untuk para guru dan brahmana : harta itu dibiarkan tidak<br />
Suttapiṭaka Jātaka I<br />
dinikmati,—seperti kolam yang dijaga oleh siluman. Suatu hari,<br />
Sang Guru bangun pada waktu subuh, dan digerakkan oleh rasa<br />
belas kasihan yang besar, (dengan kesaktiannya yang luar<br />
biasa,) saat mengamati mereka yang telah siap untuk menerima<br />
ajarannya di dunia ini, beliau mengetahui bahwa seorang<br />
Bendahara dan istrinya yang berada sekitar empat ratus mil<br />
jauhnya telah siap untuk mencapai kesucian Sotāpanna.<br />
Sehari sebelumnya, Tuan Bendahara Besar itu pergi ke<br />
istana untuk bertemu dengan raja, dan dalam perjalanan pulang<br />
ke rumah, ia melihat seorang penduduk dusun yang tidak<br />
terpelajar, sedang makan sepotong kue yang diisi dengan bubur.<br />
Pandangan sekilas itu membangkitkan keinginan yang sangat<br />
kuat untuk makan kue tersebut dalam dirinya. Tetapi, saat tiba di<br />
rumahnya, [346] ia berpikir, “Jika saya mengatakan saya<br />
menginginkan sepotong kue isi, semua orang akan meminta<br />
bagian atas makananku; hal itu berarti menghabiskan begitu<br />
banyak beras, gi, dan gula milikku. Saya tidak boleh mengatakan<br />
apa-apa pada siapa pun.” Maka ia berjalan tanpa tujuan,<br />
berjuang melawan keinginannya yang begitu kuat. Jam demi jam<br />
berlalu, ia menjadi semakin pucat pasi, dan urat nadi di sekujur<br />
tubuhnya yang kurus tampak jelas. Tidak mampu menahan lebih<br />
lama lagi, akhirnya ia pergi ke kamarnya dan bertelungkup di<br />
tempat tidurnya. Namun, tidak sepatah kata pun yang ia ucapkan<br />
karena takut menghabiskan kekayaannya. Istrinya menemuinya,<br />
mengusap punggunggnya, dan berkata, “Ada masalah apa,<br />
Suamiku?”<br />
“Tidak ada apa-apa,” katanya. “Mungkinkah Raja marah<br />
kepadamu?” “Tidak, Raja tidak marah.” “Apakah anak-anak atau<br />
451<br />
452