Jataka Vol.I PDF - DhammaCitta
Jataka Vol.I PDF - DhammaCitta
Jataka Vol.I PDF - DhammaCitta
You also want an ePaper? Increase the reach of your titles
YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.
Suttapiṭaka Jātaka I<br />
Pertanyaan itu diajukan kepada mereka, Bodhisatta<br />
mengatakan bahwa mereka memang memiliki mantra. Para<br />
pengawal menyampaikan hal tersebut kepada raja mereka. Maka<br />
raja mengumpulkan mereka di hadapannya dan berkata, “Beri<br />
tahukan mantramu kepada saya.”<br />
Bodhisatta menjawab, “Paduka, kami hanya mempunyai<br />
satu mantra, bahwa tidak seorang pun di antara kami yang<br />
melakukan pembunuhan, atau mengambil sesuatu yang tidak<br />
diberikan kepada kami, atau melakukan perbuatan yang tidak<br />
senonoh, atau berdusta, kami tidak minum minuman keras; kami<br />
dipenuhi dengan rasa cinta terhadap kebajikan; menunjukkan<br />
kebaikan hati, kami meratakan jalanan, menggali tempat<br />
penampungan air, membangun balai desa;— inilah mantra kami,<br />
pelindung kami dan sumber kekuatan kami.”<br />
Merasa puas dengan jawaban dan tindakan mereka,<br />
Raja menganugerahkan kemakmuran yang ada di rumah tukang<br />
fitnah itu dan menjadikannya sebagai pelayan mereka; Raja juga<br />
memberikan gajah serta desa itu kepada mereka sebagai<br />
tambahan.<br />
Selanjutnya, mereka terus melakukan perbuatan<br />
kebajikan sesuai dengan keinginan hati mereka; seorang tukang<br />
kayu diminta untuk membangun sebuah balai besar di<br />
perempatan jalan utama. Namun [201] karena mereka telah tidak<br />
memiliki hasrat terhadap wanita, mereka tidak mengizinkan<br />
wanita untuk mengambil bagian dalam kebajikan yang mereka<br />
lakukan itu.<br />
Sementara itu, di rumah Bodhisatta terdapat empat<br />
orang wanita, mereka adalah Sudhammā, Cittā, Nandā, dan<br />
Suttapiṭaka Jātaka I<br />
Sujā. Saat Sudhammā berada sendirian dengan tukang kayu itu,<br />
ia memberikan uang kepada tukang kayu itu dan berkata,<br />
“Saudaraku, usahakan untuk menjadikan saya sebagai orang<br />
penting yang berhubungan dengan pembangunan balai ini.”<br />
“Baik,” jawab tukang kayu itu, dan sebelum memulai<br />
pekerjaan lain dalam pembangunan balai itu, ia mengerjakan<br />
beberapa batang kayu untuk dijadikan menara, ia menghiasi,<br />
melubangi dan merakit kayu-kayu itu menjadi sebuah menara<br />
yang siap pakai. Hasil karyanya itu ditutupi dengan sehelai kain<br />
dan diletakkan di pinggir. Ketika pembangunan balai telah<br />
selesai, dan tiba saatnya untuk memasang menara, ia berseru,<br />
“Astaga, Tuanku, masih ada satu bagian yang belum kita<br />
kerjakan.” “Apa itu?” “Begini, kita harus mempunyai sebuah<br />
menara.” “Baiklah, buatkanlah satu!” “Namun menara tidak bisa<br />
dibuat dari kayu yang masih basah; kita harus memiliki kayu<br />
yang telah ditebang beberapa waktu yang lalu, dihias dan<br />
dilubangi serta dikeringkan.” “Baiklah, apa yang harus kita<br />
lakukan sekarang ?” “Sebaiknya kita melihat apakah ada orang<br />
yang mempunyai benda seperti itu di rumah mereka, sebuah<br />
menara siap pakai yang dibuat untuk dijual.” Saat mereka<br />
mencari di sekitar tempat itu, mereka menemukan satu di rumah<br />
Sudhammā, namun ia tidak mau menjualnya. “Jika kalian<br />
bersedia menjadikan saya sebagai rekanan kalian dalam<br />
melakukan kebajikan,” katanya, “saya akan memberikannya<br />
kepada kalian secara cuma-cuma.”<br />
“Tidak,” jawab mereka, “kami tidak mau ada wanita yang<br />
turut ambil bagian dalam kebajikan ini.”<br />
179<br />
180