22.11.2014 Views

Jataka Vol.I PDF - DhammaCitta

Jataka Vol.I PDF - DhammaCitta

Jataka Vol.I PDF - DhammaCitta

SHOW MORE
SHOW LESS

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

Suttapiṭaka Jātaka I<br />

dihidangkan untuk Bodhisatta, seorang Pacceka Buddha<br />

terbangun setelah tujuh hari berada dalam arus jhana, melihat<br />

saat itu adalah waktu baginya untuk melakukan pindapata, ia<br />

berpikir baik baginya untuk mengunjungi saudagar besar dari<br />

Benares di pagi itu. Ia membersihkan giginya dengan<br />

menggunakan sikat gigi yang terbuat dari daun sirih, berkumur<br />

dengan air dari Danau Anotatta, mengenakan jubah dalamnya<br />

saat berdiri di tanah merah, mengencangkan sabuk,<br />

mengenakan jubah luarnya; dan dilengkapi dengan sebuah patta<br />

sesuai dengan tujuannya untuk melakukan pindapata, ia pergi<br />

melalui udara dan tiba di gerbang rumah tersebut bersamaan<br />

dengan saat sarapan untuk Bodhisatta dihidangkan.<br />

Begitu Bodhisatta melihat keberadaannya, ia segera<br />

bangkit dan menatap pengawalnya, menandakan sebuah<br />

pelayanan dibutuhkan. “Apa yang harus saya lakukan, Tuanku?”<br />

“Bawakan patta dari bhikkhu yang agung itu,” kata Bodhisatta.<br />

Saat itu juga, Māra yang jahat, bangkit sambil berseru<br />

dengan penuh kehebohan, berkata kepada dirinya, “Ini adalah<br />

hari ketujuh sejak Pacceka Buddha ini makan makanan terakhir<br />

yang didanakan padanya; jika ia tidak mendapatkan apa-apa hari<br />

ini, ia akan mati. Saya akan membinasakannya dan mencegah<br />

saudagar itu memberikan persembahannya.” Saat itu juga ia<br />

pergi dan muncul di rumah tersebut dengan sebuah lubang yang<br />

dipenuhi dengan bara api yang merah membara, sedalam<br />

delapan puluh kubik, yang diisi dengan Bara Acacia, yang<br />

semuanya menyala dan terbakar laksana Neraka Avici. Setelah<br />

menciptakan lubang itu, Māra sendiri berdiri di tengah-tengah<br />

udara.<br />

Suttapiṭaka Jātaka I<br />

Ketika pengawal yang sedang berjalan untuk mengambil<br />

patta itu menyadari kehadirannya, ia terkejut dan melangkah<br />

mundur. “Apa yang membuatmu kembali lagi, Pelayanku?” tanya<br />

Bodhisatta. “Tuanku,” jawab pelayan itu, “ada sebuah lubang<br />

besar dengan bara merah membara, yang sedang menyala dan<br />

terbakar di tengah-tengah rumah.” Satu demi satu pelayan pergi<br />

ke tempat itu, namun semuanya dipenuhi rasa panik, dan<br />

melarikan diri secepat mungkin.<br />

Bodhisatta berpikir, “Māra si setan penggoda, pasti<br />

memaksakan dirinya menghentikan pemberian dana saya hari<br />

ini. Saya telah belajar bagaimanapun juga, saya dapat<br />

melepaskan diri dari seratus, bahkan seribu Māra. Hari ini kita<br />

akan melihat siapa yang lebih kuat, siapa yang lebih berkuasa,<br />

saya atau Māra.” Ia sendiri yang membawa mangkuk itu keluar<br />

dari rumah, dan berdiri di tepi lubang yang berapi tersebut,<br />

melihat ke langit. Saat itu ia melihat Māra, ia bertanya, “Siapa<br />

kamu?” “Saya adalah Māra,” jawabnya.<br />

“Apakah kamu yang memunculkan lubang dari bara api<br />

yang merah membara ini?” “Benar, saya yang melakukannya.”<br />

[233] “Mengapa?” “Untuk menghentikan kamu memberikan<br />

persembahan dana dan untuk membinasakan Pacceka Buddha<br />

itu.” “Saya tidak akan mengizinkan engkau menghentikan saya<br />

memberikan persembahan ini maupun membiarkanmu membinasakan<br />

Pacceka Buddha. Hari ini saya ingin melihat apakah<br />

engkau atau saya yang lebih kuat.” Masih berdiri di tepi lubang<br />

yang menyala itu, ia berseru, “Pacceka Buddha yang agung,<br />

biarpun tindakan ini akan membuat saya langsung jatuh ke<br />

dalam lubang dari bara api yang merah membara ini, saya tidak<br />

239<br />

240

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!