Jataka Vol.I PDF - DhammaCitta
Jataka Vol.I PDF - DhammaCitta
Jataka Vol.I PDF - DhammaCitta
You also want an ePaper? Increase the reach of your titles
YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.
Suttapiṭaka Jātaka I<br />
tidak mencicipi daun, bunga atau buah yang asing bagi kalian<br />
tanpa bertanya terlebih dahulu padaku.” Semua pengikutnya<br />
berjanji untuk memperhatikan hal itu; dan perjalanan masuk ke<br />
dalam hutan pun dimulai. Di pinggir hutan, terdapat sebuah desa,<br />
dan tepat di luar desa tersebut tumbuh Pohon Kiṃphala (“Buah<br />
Apa”). Pohon ini mirip dengan pohon mangga, baik batang,<br />
cabang, daun, bunga maupun buahnya. Tidak hanya bentuk<br />
luarnya, rasa dan baunya juga sama, buah tersebut — masak<br />
maupun mentah — meniru bentuk buah mangga. Jika termakan,<br />
benar-benar beracun dan dapat menimbulkan kematian.<br />
Beberapa pengikutnya yang serakah, yang berada di<br />
barisan depan, mendekati pohon ini dan mengiranya sebagai<br />
mangga, segera makan buah tersebut. Sementara yang lain<br />
berkata, “Mari kita bertanya kepada pemimpin kita sebelum ikut<br />
makan.” Mereka berhenti di bawah pohon, dengan buah di<br />
tangan, menanti kedatangannya. Merasa buah itu bukan buah<br />
mangga, ia berkata, “ ‘Mangga’ ini adalah buah dari Pohon<br />
Kiṃphala. Jangan sentuh buahnya.”<br />
Setelah mencegah mereka makan buah tersebut,<br />
Bodhisatta mengalihkan perhatiannya pada mereka yang telah<br />
makan buah tersebut. Mula-mula ia memberikan obat yang<br />
membuat mereka muntah, kemudian memberikan empat jenis<br />
makanan yang manis untuk dimakan oleh mereka; akhirnya<br />
mereka sembuh.<br />
Pada kejadian sebelum ini, beberapa gerobak berhenti di<br />
bawah pohon tersebut, dan mereka meninggal karena makan<br />
buah beracun ini, yang mereka duga sebagai buah mangga.<br />
Keesokan paginya, para penduduk desa datang. Melihat ada<br />
Suttapiṭaka Jātaka I<br />
mayat-mayat di sana, mereka segera membuangnya di suatu<br />
tempat rahasia, kemudian pergi dengan membawa semua<br />
barang di gerobak, gerobak itu sendiri serta semua barang lain<br />
yang bisa mereka ambil.<br />
Saat cerita ini terjadi, para penduduk muncul dengan<br />
segera di pagi hari menuju tempat pohon tersebut berada untuk<br />
mendapatkan barang rampasan yang telah mereka harapkan.<br />
“Sapi-sapi itu adalah milik kami,” kata beberapa orang.<br />
“Gerobaknya adalah kepunyaan kami,” kata yang lain; sementara<br />
beberapa lagi mengatakan bahwa barang-barang di gerobak<br />
adalah bagian mereka. Namun, saat mereka tiba dengan<br />
terengah-engah, semua orang dalam rombongan gerobak<br />
tersebut masih hidup dan dalam keadaan sehat!<br />
“Bagaimana kalian bisa tahu kalau ini bukan buah<br />
mangga?” tuntut penduduk desa yang merasa kecewa itu. “Kami<br />
tidak tahu,” jawab orang dalam rombongan gerobak itu;<br />
“pemimpin kami yang mengetahuinya.”<br />
Maka mereka mendatangi Bodhisatta dan bertanya,<br />
“Orang yang bijaksana, apa yang kamu lakukan sehingga kamu<br />
bisa tahu bahwa pohon ini bukan pohon mangga?”<br />
“Ada hal-hal yang membuat aku tahu,” jawab Bodhisatta,<br />
dan ia mengulangi syair berikut ini : — [272]<br />
Jika di dekat sebuah desa tumbuh sebatang pohon<br />
yang tidak sulit untuk dipanjat, menjadi jelas bagiku,<br />
tidak perlu aku buktikan lebih jauh untuk mengetahui,<br />
— Tidak ada buah bermanfaat yang bisa tumbuh!<br />
311<br />
312