22.11.2014 Views

Jataka Vol.I PDF - DhammaCitta

Jataka Vol.I PDF - DhammaCitta

Jataka Vol.I PDF - DhammaCitta

SHOW MORE
SHOW LESS

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

Suttapiṭaka Jātaka I<br />

gagak yang sayapnya terpotong. Sambil memegang<br />

makanannya, dengan tetap berdiri, ia tidak makan, tetapi berjalan<br />

dengan seluruh tubuh yang bergetar karena nafsu, dari istana<br />

menuju ke pondoknya di taman peristirahatan. Kemudian ia<br />

terduduk di kursi kayunya, dan berbaring selama tujuh hari<br />

penuh, tersiksa oleh rasa lapar dan haus, diperbudak oleh<br />

kecantikan ratu, hatinya terbakar oleh nafsu.<br />

Pada hari ketujuh, raja kembali setelah mendamaikan<br />

perbatasan. Setelah mengelilingi kota dengan prosesi yang<br />

khidmat, ia memasuki istananya. [305] Kemudian, berharap<br />

untuk menjumpai petapa itu, ia menuju ke taman peristirahatan,<br />

dan di bilik itu, menemukan Bodhisatta terbaring di kursinya.<br />

Mengira orang mulia itu sedang sakit, raja, setelah terlebih<br />

dahulu menyuruh agar bilik itu dibersihkan, bertanya, saat ia<br />

mengusap kaki penderita, apa yang membuatnya sakit.<br />

“Maharaja, hati saya terbelenggu oleh nafsu; itu satu-satunya<br />

penyakit saya.” “Terbelenggu nafsu pada siapa?” “Pada Hati<br />

Lembut, Maharaja.” “Kalau begitu, ia milikmu; saya berikan ia<br />

kepadamu,” kata raja. Kemudian ia berlalu bersama petapa<br />

tersebut ke istana, dan meminta ratu menghiasi dirinya dengan<br />

semua kemegahan miliknya, dan memberikan ratu kepada<br />

Bodhisatta. Tetapi, saat memberikannya, raja secara diam-diam<br />

memberikan tugas kepada ratu untuk berusaha keras<br />

menyelamatkan orang mulia tersebut.<br />

“Jangan khawatir, Maharaja,” kata ratu, “saya akan<br />

menyelamatkannya.” Bersama ratu, petapa itu keluar dari istana.<br />

Tetapi, saat melewati gerbang utama, ratu berseru bahwa<br />

mereka harus mempunyai sebuah rumah sebagai tempat tinggal,<br />

Suttapiṭaka Jātaka I<br />

dan ia harus kembali menghadap raja untuk meminta sebuah<br />

rumah. Maka petapa itu kembali untuk meminta kepada raja<br />

sebuah rumah sebagai tempat tinggal, dan raja memberikan<br />

kepada mereka sebuah tempat tinggal yang hampir roboh, yang<br />

digunakan oleh para pengembara sebagai tempat membuang<br />

kotoran. Ke tempat itulah petapa tersebut membawa ratu; tetapi<br />

ratu menolak untuk masuk, karena tempat itu sangat kotor.<br />

“Apa yang harus saya lakukan?” serunya. “Tentu saja<br />

membersihkannya,” kata ratu. Ratu menyuruhnya menghadap<br />

raja untuk meminta sebuah sekop dan keranjang, menyuruhnya<br />

membuang semua kotoran dan debu, dan menambal dinding<br />

tempat itu dengan kotoran sapi, yang harus ia dapatkan. Setelah<br />

selesai, ratu menyuruhnya untuk mendapatkan sebuah tempat<br />

tidur, sebuah bangku, sebuah permadani, sebuah kendi air, dan<br />

sebuah cangkir; menyuruhnya mengambil satu macam barang<br />

untuk setiap kali pergi. Selanjutnya, ratu memintanya untuk<br />

mendapatkan air dan ratusan barang lainnya. Maka ia pergi<br />

mendapatkan air, mengisi kendi air, mencari air untuk mandi, dan<br />

merapikan tempat tidur. Dan, saat duduk bersama ratu di tempat<br />

tidur, ratu memegang janggutnya dan menariknya sehingga<br />

mereka saling berhadapan, kemudian berkata, “Apakah Anda<br />

sudah lupa bahwa Anda adalah orang mulia dan seorang<br />

brahmana?”<br />

Akhirnya ia sadar setelah sempat menjadi orang bodoh<br />

dan kehilangan kecerdasan.<br />

(Di sini, seharusnya diulang teks awal, “Demikianlah<br />

rintangan dari nafsu dan keinginan disebut sebagai kejahatan,<br />

karena bersumber dari ketidaktahuan, Bhikkhu; [306] bahwa apa<br />

371<br />

372

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!