22.11.2014 Views

Jataka Vol.I PDF - DhammaCitta

Jataka Vol.I PDF - DhammaCitta

Jataka Vol.I PDF - DhammaCitta

SHOW MORE
SHOW LESS

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

Suttapiṭaka Jātaka I<br />

pilihan hidupnya. Jika ia memilih untuk memasuki alam brahma<br />

setelah meninggal nanti, ia harus membawa api tersebut masuk<br />

ke dalam hutan, di sana ia akan melepaskan semua hasratnya<br />

melalui pemujaan tanpa henti pada Raja Api. Namun, jika ia<br />

memilih kebahagiaan dengan tetap berada di rumah, mereka<br />

meminta agar ia pergi ke Takkasilā dan belajar di bawah<br />

bimbingan seorang guru yang sangat terkenal, dengan tujuan<br />

agar ia duduk mengurusi tanah milik mereka. “Saya pasti akan<br />

gagal dalam pemujaan terhadap Dewa Api,” kata brahmana<br />

muda itu, “Saya akan menjadi seorang tuan tanah saja.” Maka ia<br />

mohon diri pada ayah dan ibunya; dengan membawa seribu<br />

keping uang sebagai bayaran kepada gurunya, ia berangkat ke<br />

Takkasilā. Di sana ia menyelesaikan pendidikannya, setelah itu<br />

ia pulang kembali ke rumahnya.<br />

Saat itu, orang tuanya berharap agar ia meninggalkan<br />

keduniawian dan memuja Dewa Api di dalam hutan. Karena itu<br />

ibunya, dalam keinginan untuk mengirim putranya ke dalam<br />

hutan berusaha membuat anaknya mengetahui keburukan<br />

wanita. Ia merasa yakin guru putranya yang bijaksana dan<br />

terpelajar dapat memaparkan tentang nafsu indriawi kepadanya;<br />

maka ia bertanya apakah putranya benar-benar telah<br />

menyelesaikan pendidikannya. “Benar,” jawab anak muda<br />

tersebut.<br />

[286] “Kalau begitu, kamu pasti telah mempelajari<br />

tentang Naskah Penderitaan?” “Saya belum mempelajari hal<br />

tersebut, Bu.” “Kalau begitu, bagaimana bisa kamu katakan<br />

pendidikanmu telah selesai? Kembalilah ke sana, ke tempat<br />

Suttapiṭaka Jātaka I<br />

gurumu berada dan kembali kemari setelah engkau mempelajari<br />

hal tersebut,” kata ibunya.<br />

“Baik,” jawab anak muda itu, dan sekali lagi ia berangkat<br />

ke Takkasilā.<br />

Gurunya masih mempunyai seorang ibu; — seorang<br />

wanita yang berusia seratus dua puluh tahun; — Bodhisatta<br />

menggunakan sepasang tangannya untuk memandikan,<br />

memberi makan dan merawatnya. Karena melakukan hal<br />

tersebut, ia dicemooh oleh para tetangganya, — begitu banyak<br />

yang bersungguh-sungguh mengatainya sehingga ia memutuskan<br />

untuk pergi ke hutan dan menetap di sana bersama<br />

ibunya. Karena itu, dalam hutan yang sunyi, ia mendirikan<br />

sebuah pondok di suatu tempat yang menyenangkan, dimana<br />

terdapat air dalam jumlah yang banyak. Setelah menyimpan<br />

persediaan biji-bijian, beras dan perbekalan lainnya, ia membawa<br />

ibunya ke rumah barunya dan di sana, mereka hidup dengan<br />

bahagia sambil menghabiskan hari tua ibunya.<br />

Tidak menemukan gurunya di Takkasilā, brahmana<br />

muda itu bertanya kepada orang-orang, akhirnya ia mengetahui<br />

apa yang telah terjadi, ia pun berangkat ke hutan, dan melapor<br />

dengan penuh hormat di hadapan gurunya. “Apa yang membuat<br />

kamu kembali secepat ini, Anakku?” tanya gurunya. “Saya tidak<br />

merasa, Guru, kalau saya telah mempelajari Naskah Kesedihan<br />

saat berguru padamu,” jawab anak muda itu. “Siapa yang<br />

mengatakan bahwa engkau harus mempelajari Naskah<br />

Kesedihan ?” “Ibu saya, Guru,” jawabnya. Bodhisatta menyadari<br />

tidak pernah ada naskah seperti itu, ia menyimpulkan bahwa ibu<br />

muridnya itu pasti menginginkan anaknya mempelajari<br />

337<br />

338

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!