Jataka Vol.I PDF - DhammaCitta
Jataka Vol.I PDF - DhammaCitta
Jataka Vol.I PDF - DhammaCitta
Create successful ePaper yourself
Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.
Suttapiṭaka Jātaka I<br />
menunggu hingga waktu yang sesuai untuk pergi berpindapata.<br />
Lalu, dengan diikuti oleh rombongan besar para bhikkhu, dan<br />
dilengkapi dengan kesempurnaan seorang Buddha, beliau<br />
memasuki Kota Sawatthi untuk berpindapata. Dalam perjalanan<br />
pulang ke wihara pada siang hari setelah selesai makan dari<br />
hasil pindapata di Sawatthi, beliau berhenti di atas anak tangga<br />
yang menurun ke kolam Jetawana, berkata kepada Ananda<br />
Thera, “Ananda, bawakanlah pakaian mandi untuk saya, karena<br />
saya akan mandi di kolam Jetawana.” “Tetapi, Bhante,” jawab<br />
Ananda Thera, “air telah mengering semuanya, yang tersisa<br />
hanyalah lumpur.” “Ananda, kekuatan seorang Buddha sungguh<br />
luar biasa. Pergilah, bawakan pakaian mandi untuk saya,” kata<br />
Sang Guru. Maka Ananda Thera pergi dan membawakan<br />
pakaian mandi yang kemudian dikenakan oleh Sang Guru,<br />
menggunakan satu bagian ujung untuk melilit bagian<br />
pinggangnya, dan menutupi tubuhnya dengan ujung yang lain.<br />
Berpakaian seperti itu, beliau berdiri di atas anak tangga kolam<br />
dan berseru, “Saya akan merasa senang untuk mandi di kolam<br />
Jetawana.”<br />
Saat itu juga, singgasana Sakka yang terbuat dari<br />
marmer kuning terasa panas saat diduduki olehnya, dan ia<br />
mencari penyebabnya. Menyadari apa yang terjadi, Sakka<br />
memanggil Raja Awan Badai, dan berkata, “Sang Guru sedang<br />
berdiri di atas anak tangga kolam Jetawana dan ingin mandi.<br />
Segera turunkan hujan yang deras di seluruh Kerajaan Kosala.”<br />
Patuh pada perintah Sakka, Raja Awan Badai menyelubungi<br />
dirinya dengan sebuah awan sebagai pakaian dalam, dan<br />
sebuah awan yang lain sebagai baju luarnya. Sambil<br />
419<br />
Suttapiṭaka Jātaka I<br />
menyanyikan lagu hujan, 149 ia bergerak dengan cepat ke arah<br />
timur. Ia muncul di sebelah timur dalam bentuk awan sebesar<br />
lantai penebahan, yang tumbuh dan tumbuh hingga sebesar<br />
seratus, seribu kali luas lantai penebahan. Ia menciptakan guntur<br />
dan memancarkan kilat; dan setelah menundukkan wajah dan<br />
mulutnya, ia mencurahkan seluruh Kosala dengan hujan yang<br />
deras. Hujan turun tanpa henti, sehingga mengisi kolam<br />
Jetawana dengan cepat, dan berhenti saat air mencapai anak<br />
tangga yang paling tinggi. Lalu Sang Guru mandi di kolam<br />
tersebut. Setelah keluar dari kolam, beliau mengenakan kedua<br />
jubahnya yang berwarna jingga dan ikat pinggangnya, merapikan<br />
jubah Buddha yang dikenakannya di sekeliling tubuhnya, dan<br />
hanya menyisakan satu bahu tanpa penutup. Dengan<br />
penampilan seperti itu, beliau melanjutkan perjalanan, diikuti oleh<br />
para bhikkhu; dan akhirnya tiba di Gandhakutinya yang harum<br />
dengan semerbak aroma bunga-bunga. Di sini, beliau duduk di<br />
tempat duduk untuk seorang Buddha. Setelah para bhikkhu<br />
mengerjakan semua tugas mereka, beliau bangkit dan mewejang<br />
para bhikkhu dari anak tangga yang dihiasi permata di tempat<br />
duduknya, lalu membubarkan mereka. Setelah kembali ke<br />
Gandhakutinya yang harum, beliau membaringkan diri ke sisi<br />
kanan, laksana seekor singa.<br />
Saat yang sama, para bhikkhu berkumpul di Balai<br />
Kebenaran, membicarakan kesabaran dan cinta kasih dari Sang<br />
Guru. “Ketika tanaman menjadi layu, ketika kolam mengering,<br />
ikan-ikan dan kura-kura dalam keadaan yang menyedihkan,<br />
dengan belas kasihan, beliau muncul sebagai penyelamat.<br />
149<br />
Dalam J.R.A.S (Seri Baru) 12, 286, ditulis Megha-sūtra.<br />
420