Jataka Vol.I PDF - DhammaCitta
Jataka Vol.I PDF - DhammaCitta
Jataka Vol.I PDF - DhammaCitta
Create successful ePaper yourself
Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.
Suttapiṭaka Jātaka I<br />
diisi dengan balsem keabadian. Tidak, badan ini akan rusak,<br />
dilahirkan oleh manusia biasa, mutu badan ini ditentukan oleh<br />
apa yang ia pakai dan yang dihabiskannya, ia akan hancur dan<br />
binasa karena bersifat sementara; sudah pasti ia akan dikubur,<br />
dan juga dipenuhi dengan nafsu keinginan; sumber penderitaan<br />
dan ratapan kita; tempat tinggal segala jenis penyakit, dan<br />
tempat dimana kita menimbun karma. Di dalamnya juga kotor —<br />
selalu mengeluarkan kotoran. Yah, seperti yang dapat dilihat<br />
semua orang, diakhiri oleh kematian, dibawa ke pemakaman,<br />
kemudian dijadikan tempat tinggal bagi cacing-cacing 42 [147].<br />
Apa yang dapat saya peroleh, Suamiku, dengan membuatnya<br />
menarik? Bukankah mendandaninya sama dengan menghiasi<br />
bagian luar dari kotoran yang telah dibungkus?”<br />
“Istriku,” balas saudagar muda itu, “jika engkau<br />
menganggap tubuh ini begitu menjijikkan, mengapa engkau tidak<br />
menjadi seorang bhikkhuni saja?”<br />
“Jika saya diterima, Suamiku, saya akan bergabung<br />
secepat mungkin.” “Baiklah,” jawab suaminya, “saya akan<br />
membuatmu diterima oleh Sanggha Bhikkhuni.” Suaminya<br />
memberikan sejumlah hadiah dan bersikap ramah terhadap<br />
Sanggha, mengirimkan sejumlah orang untuk mendampingi<br />
istrinya di kuti, ia pun diterima menjadi bhikkhuni, — namun<br />
dalam Sanggha yang dipimpin oleh Devadatta. Bagian yang baik<br />
adalah, ia merasa bahagia karena keinginannya untuk menjadi<br />
bhikkhuni telah terpenuhi.<br />
Dengan berlalunya waktu, para bhikkhuni melihat ada<br />
perubahan dalam dirinya, keringat di tangan dan kakinya serta<br />
42<br />
Rentetan yang panjang dari syair tentang kejijikan dari anggota tubuh telah dihilangkan.<br />
85<br />
Suttapiṭaka Jātaka I<br />
badan yang semakin gemuk, berkata, “Ayya, kamu terlihat<br />
seperti orang yang sedang mengandung; apa yang telah terjadi<br />
sebenarnya?”<br />
“Saya tidak tahu, Ayya; saya hanya tahu saya sedang<br />
menjalankan hidup yang suci.”<br />
Para bhikkhuni membawanya menghadap Devadatta,<br />
berkata, “Yang Mulia, wanita ini, yang menjadi bhikkhuni dengan<br />
persetujuan yang diberikan secara berat hati oleh suaminya,<br />
terlihat sedang mengandung. Namun apakah ini terjadi sebelum<br />
atau sesudah ia menjadi bhikkhuni, tidak bisa kami katakan. Apa<br />
yang harus kami lakukan?”<br />
Belum menjadi Buddha dan tidak mempunyai kebaikan<br />
hati, cinta kasih dan belas kasih, Devadatta berpikir, “Akan<br />
menjadi kabar yang merusak citraku jika hal ini tersebar keluar,<br />
bahwa salah seorang bhikkhuni pengikutku sedang mengandung<br />
dan aku mengampuni pelanggaran yang dilakukannya. Sudah<br />
jelas apa yang harus aku lakukan — aku harus mengeluarkannya<br />
dari Sanggha.” Tanpa melakukan penyelidikan terlebih<br />
dahulu, tangannya bergerak ke depan seakan mendorong<br />
tumpukan batu, ia berkata, “Pergi, usir wanita ini !”<br />
Menerima jawaban itu, mereka bangkit, memberikan<br />
hormat, kemudian kembali ke kuti mereka. Wanita itu berkata<br />
kepada para bhikkhuni, “Ayya, Devadatta bukanlah Sang<br />
Buddha. Saya tidak mengambil sumpah terhadap Devadatta,<br />
namun terhadap Buddha, yang terkemuka di seluruh dunia.<br />
Jangan rampas kesempatan yang telah saya peroleh dengan<br />
susah payah ini; bawa saya ke Jetawana untuk menghadap<br />
Sang Guru.” Maka mereka membawanya ke Jetawana, dengan<br />
86