22.11.2014 Views

Jataka Vol.I PDF - DhammaCitta

Jataka Vol.I PDF - DhammaCitta

Jataka Vol.I PDF - DhammaCitta

SHOW MORE
SHOW LESS

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

Suttapiṭaka Jātaka I<br />

lezat, dan sentuhan dengan dipan berhiaskan bantalan merah<br />

yang sangat lembut. Namun jika engkau bisa menaklukkan<br />

perasaanmu, dan menguatkan diri untuk tidak memandang<br />

mereka, dalam waktu tujuh hari engkau akan menjadi raja di Kota<br />

Takkasilā.”<br />

“Oh, Bhante; bagaimana saya bisa memandang para<br />

yaksa wanita setelah (mendengar) nasihat kalian ini?” Setelah<br />

mengucapkan kata-kata tersebut, Bodhisatta memohon para<br />

Pacceka Buddha memberikan sesuatu padanya untuk menjaga<br />

keselamatannya selama perjalanan tersebut. Ia menerima<br />

sebuah jimat berupa benang dan sedikit pasir yang telah diberi<br />

mantra. Mula-mula ia berpamitan kepada para Pacceka Buddha,<br />

kemudian pada ayah dan ibunya; lalu ia menuju ke tempat<br />

tinggalnya sendiri, berkata kepada para pengurus rumahnya<br />

sebagai berikut ini, “Saya akan pergi ke Takkasilā untuk<br />

menjadikan diri saya sebagai raja di sana. Kalian akan tinggal di<br />

sini.” Namun kelimanya menjawab, “Biarkan kami ikut.”<br />

“Kalian tidak bisa ikut bersama saya,” jawab Bodhisatta;<br />

“karena saya diberitahu bahwa jalanannya dikepung oleh para<br />

yaksa wanita yang memikat perasaan lelaki dan membinasakan<br />

mereka yang kalah pada daya tarik mereka. Bahayanya terlalu<br />

besar, namun saya akan mengendalikan diri sendiri dan pergi.”<br />

“Jika kami pergi bersamamu, Pangeran, kami tidak akan<br />

menatap bungkusan mereka yang memikat. Kami juga akan<br />

pergi ke Takkasilā.” “Kalau begitu tunjukkan keteguhan kalian,”<br />

kata Bodhisatta, dan membawa mereka berlima bersamanya<br />

dalam perjalanannya.<br />

Suttapiṭaka Jātaka I<br />

Para yaksa wanita duduk menunggu di tengah<br />

perjalanan di perkampungan mereka. Salah satu dari kelima<br />

orang itu, cinta pada kecantikan, menatap para yaksa wanita itu,<br />

dan terjerat kecantikan mereka, tertinggal di belakang yang<br />

lainnya. “Mengapa engkau tertinggal di belakang?” tanya<br />

Bodhisatta. “Kaki saya terluka, Pangeran. Saya akan duduk<br />

sejenak di paviliun di sana, dan mengejar kalian kemudian.”<br />

“Temanku yang baik, mereka adalah yaksa wanita; jangan<br />

menginginkan mereka.” “Meskipun itu benar adanya, Pangeran,<br />

saya tidak bisa pergi lebih jauh lagi.” “Baiklah, engkau akan<br />

segera menunjukkan sifatmu yang sebenarnya,” kata Bodhisatta,<br />

saat ia melanjutkan perjalanan dengan keempat orang lainnya.<br />

Menyerah pada perasaannya, pencinta kecantikan ini<br />

mendekat ke arah para yaksa wanita, yang [397]<br />

menempatkannya dalam perbuatan salah untuk sementara,<br />

kemudian membunuhnya di sana saat itu juga. Mereka pergi, dan<br />

lebih jauh di jalanan tersebut, dengan kekuatan gaib mereka,<br />

sebuah paviliun terbentuk, dimana mereka duduk sambil<br />

bernyanyi dengan iringan alat musik yang berbeda. Saat itu,<br />

pencinta musik tertinggal dan disantap oleh mereka. Kemudian<br />

para yaksa wanita ini pergi mendahului dan duduk menunggu di<br />

sebuah pasar yang dipenuhi oleh semua aroma dan wewangian<br />

yang harum. Di sini, pencinta wewangian tertinggal. Setelah<br />

menyantapnya, mereka pergi mendahului lagi dan duduk dalam<br />

sebuah kedai persediaan dimana sejumlah persediaan bahan<br />

makanan laksana makanan dari surga dengan rasa yang lezat di<br />

jual. Di sini, pencicip makanan tertinggal di belakang. Setelah<br />

memangsanya, mereka pergi lebih jauh, dan duduk di dipan yang<br />

545<br />

546

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!